We present a concept of social enterprise/social entrepreneurship based in Mollo, Timor and utilize the natural and cultural potential for economic improvement as well as the empowerment of local communities, particularly young people. Our focus includes literacy, art-culture and the creative economy. This project involves the youth community, village library as a center for arts and culture, homestay and creative economy. It is located in Jl. Kampung Baru, No. 2, Village of Taeftob, District of North Mollo, South Central Timor, East Nusa Tenggara, Indonesia 85552. Telp./Whatsapp 081338037075. E-mail: lakoat.kujawas@gmail.com.

Tampilkan postingan dengan label library. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label library. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 Januari 2019

Reading for The Future

published on Tempo English Weekly Magazine 21 February 2018 
TEMPO.COJakarta - Indonesians appear to have a low interest in reading, at least according to the World’s Most Literate Nations study published by the Central Connecticut State University in 2016, which ranked Indonesians at 60 of the 61 nations studied. The lack of interest in reading has encouraged literacy movements in a number of regions to take action. The Lakoat.Kujawas community has opened a library in the Taiftob village, East Nusa Tenggara, where English and writing classes are also made available for children and teenagers. Meanwhile, youths in Enrekang, Southeast Sulawesi, and in Agam, West Sumatra, have opened libraries to help foster a culture of reading among villagers. To commemorate International Mother Language Day on February 21,Tempo English reports. 
Celebrating Literacy
The Lakoat.Kujawas community has stirred a love for books and learning among North Mollo locals through the community’s library and art activities. 
I want to become a pastor," said Markus Aldino Sesfaot. "But also want to be like my idol, Detective Conan." Dino, short for Aldino, is still an eighth grader at the St. Yoseph Freinademetz Catholic Middle School in the Taiftob Village, North Mollo, South Central Timor Regency. The village is about 130 kilometers away from Kupang, the capital of Nusa Tenggara Timur (NTT). But although the capital is quite far from his village, about a four-hour trip by car, the 13-year-old is already working to make his dream a reality. 
Conan is no real-world person. The detective is a manga character created by Japanese author Aoyama Gosho. Conan is intelligent, has a sharp eye for clues, is kind and loves to help others. Dino discovered Conan about two years ago when he was in sixth grade. Since then, he has read around 72 volumes in the Detective Conan series, now in its 92nd volume. Dino has not read all 92 because the Lakoat.Kujawas Library only has the first 72 volumes. 
Apart from Conan, Dino has also devoured series of Doraemon, a manga by Japanese author Fujiko F. Fujio and fairy tale books, not to mention the numerous natural sciences encyclopedia volumes he found in the library. He loves reading so much that last year he borrowed 126 books from the library. "I always read after I’ve studied and done my homework," he said. 
As it happens, the Lakoat.Kujawas Library is only about a 15-minute walk from Dino’s home. Besides reading, he’s also taking writing classes as well as theater and English classes with other children from the Taiftob Village. 
His eagerness to learn with Lakoat.Kujawas has led Dino to begin writing. But because he doesn’t own a computer, he writes his short stories in notebooks. There are stories about a struggling samurai, a kind-hearted parrot, and a battle between mankind and aliens on Earth. He wishes to publish books when he has become a pastor. 
It looks like part of Dino’s plans will be fulfilled sooner than he thought. The library’s administrators are now in the process of selecting one of his short stories to be published along with 14 other works of fiction written by children in the village. Next month, the anthology will be published by an independent publisher. "This book is our library’s long-term product," said Dicky Senda, founder of the Lakoat.Kujawas. Dicky himself recently published a work of fiction titled Sai Rai. 

Kamis, 04 Oktober 2018

Diskusi dan Peluncuran Buku Dongeng Dari Kap Nam To Fena di Kupang

Satu langkah terlampaui, seribu langkah menanti. Cerita kerja kolaborasi komunitas Lakoat.Kujawas dan SMPK St Yoseph Freinademetz desa Taiftob Kapan di Pos Kupang hari ini. Kami juga punya komitmen dan kolaborasi bersama kelompok petani organik (kebanyakan perempuan), kelompok tenun, sebentar lagi bersama orang muda yang ingin belajar anyam bambu. Kelak, di desa kecil bernama Taiftob, ekosistem warga aktif terbentuk dengan baik, menempatkan anak dan orang muda sebagai titik tengah. Sebagai komunitas warga yang inklusif, yang bermitra dengan pemerintah desa, gereja dan sekolah.

Terima kasih Romo @amanchefrank, teman-teman komunitas Sastra @dusunflobamora, teman-teman SMP Lentera dan SMPK St Yoseph Naikoten. Acara diskusi buku Dongeng dari Kap Na'm To Fena karya siswa SMPK St Yoseph Freinademetz desa Taiftob Kapan berlangsung seru. Terima kasih juga untuk Romo Jimmy Kewohon kepala sekolah yang sudah banyak memberi ruang kreatif untuk kami semua. 


Sabtu, 23 Juli 2016

Cegah Human Trafficking: Sebuah Panggilan dari Mollo

borgenproject.org
Setiap hari saya melihat ratusan remaja berseliweran di depan Lakoat.Kujawas, desa Taeftob Mollo Utara. Paling tidak di dekat tempat saya tinggal ini ada 4 SMP dan 3 SMA. Saya lantas ingat tentang kejadian beberapa hari lalu. Dua orang TKI meninggal dengan dengan kondisi tak wajar, seluruh organ dalam tubuh raib. Ini bukan kali pertama. Koran lokal di Kupang merilis bahwa semester pertama 2016, sudah 23 orang buruh migran asal NTT tewas di luar negeri, 21 diantaranya tidak berdokumen/dipalsukan identitasnya. Ini jelas perdagangan manusia. Sindikatnya banyak dan menggurita tapi bukan berarti kita harus kalah untuk melawan perdagangan orang di NTT. Ketika pulang kampung dan memutuskan untuk merintis proyek kewirausahaan sosial bernama Lakoat.Kujawas, saya mendengar bahwa desa tetangga tempat saya tinggal sama sekali tak punya orang muda. Pada jadi TKI. Entah resmi atau ilegal.

Saya masih melihat bahwa Mollo punya banyak potensi alam yang melimpah, namun entah mengapa silau untuk menjadi TKI masih begitu kuat. Ketika Pemda TTS sampai detik ini belum punya sikap yang jelas, ketika arus perdagangan orang terus melaju, apa yang harus kita lakukan?

Saya mengingat ratusan remaja yang harusnya punya mimpi besar. Mereka bersekolah di Kapan dan berasal dari berbagai pelosok Mollo. Mereka yang rentan dengan bujuk rayu para calo, atau barangkali mereka juga yang rentan termakan bujukan, ajakan, permintaan bahkan paksaan keluarga sendiri.

Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Kami di Lakoat.Kujawas bersedia mewadahi kerja kolaborasi dengan Anda sekalian, membantu menghubungkan Anda dengan pihak sekolah untuk menyelenggarakan semacam sosialisasi terkait human trafficking atau barangkali ide lain semacam workshop, sharing pengalaman dan motivasi. Nonton film dan diskusi mungkin juga baik untuk memperluas wawasan para remaja ini juga guru-gurunya.

Punya ide? Mari kita diskusikan dan lakukan bersama. Kami tunggu di Whatsapp 081338037075 atau email dickysenda@gmail.com. Ini cuma langkah kecil. Satu cara diantara banyak cara. Tapi penting, daripada diam di tempat, bukan? Oya, selama di Mollo, kalian bisa tinggal di Lakoat.Kujawas. 

Salam

Christian Dicky Senda


Baca juga artikel terkait: 

The Call From Mollo
5+1 Things That You Need To Know About Mollo


Kamis, 21 Juli 2016

Mimpi dari Mollo



Selamat datang di lakoat.kujawas, kawan

Setelah tinggal hampir 6 tahun di Kupang, beta akhirnya memutuskan untuk pulang kampung, kembali ke Kapan, sebuah kota kecamatan kecil di lereng pegunungan Mollo (gunung Mollo, Fatumnasi, hingga Mutis). Beta lahir di Kapan dan tinggal hingga SMP, selanjutnya sudah merantau ke Ende dan Jogja untuk sekolah dan kemudian tinggal dan bekerja di Kupang. Sungguh menyenangkan bisa berkarya di kota yang sedang bertumbuh seperti Kupang. Orang-orang mudanya begitu luar biasa energinya untuk berkumpul dan melakukan banyak kerja kolaboratif. Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Kelompok Solidaritas Giovanni Paolo II dan Kupang Bagarak adalah tiga komunitas besar di Kupang yang beta ikuti, belajar dan ikut berkembang bersama. Terakhir beta juga bergabung dengan Komunitas Film Kupang. Bukan seorang sutradara, beta cuma punya mimpi, paling tidak saat ini beta sudah mulai pede untuk mengadaptasikan cerpen-cerpen beta ke dalam medium skenario film secara otodidak tentu saja dengan bimbingan kawan-kawan seperti Abe Maia di KFK. 

Di Kupang beta tergolong pribadi 4L, lu lagi lu lagi (menurut om Gusti Brewon yang notabene 4L juga) artinya sejenis orang yang hampir ada di setiap komunitas dan event kreatif yang dibuat orang muda. Hahaha. Selain sebab aktualisasi diri yang rasanya setiap orang punya itu, besarnya energi beta, ya karena ingin belajar. Beta suka mengamati, mendengar kalau dibolehkan ikut berbicara dan berkarya dalam sebuah social movement wah dengan senang hati. Sebenanrya bukan juga melulu karena keinginan beta, sikap terbuka kawan-kawan di Kupang juga luar biasa justru yang membuat beta dan siapa saja yang terlibat di dalamnya akan merasa betah, ingin berkontribusi dan mau bekerja kolaborasi. Semangat kerja kolaborasi dan volunteerism beta rasa adalah kekuatan baru, modal sosial baru anak-anak muda Kupang. Kuncinya sebenarnya sederhana saja: buka diri, percaya diri, dan... temuilah simpul-simpul seperti om Gusti Brewon, Amanche Frank, Danny Wetangterah, Elen Bataona, Abe Maia, Mario F Lawi, Inda Wohangara, Noya Letuna, om Oddy Messakh, Marinuz Kevin, LSM seperti IRGSC dan Pikul, Gerry Pratama atau dokter Sahadewa. Ada banyak nama sebenarnya. Mereka adalah orang yang jaringannya lebih luas dan kuat ketimbang jaringan Telkomsel di NTT. Beta sungguh merasa beruntung bisa kenal dengan mereka. Ketemu mereka dijamin sonde akan dibikin PHP, laiknya Telkomsel kasih bonus Wifi dan 4G melimpah tapi sonde bisa pakai juga karena aksesnya belum ada. Bajingan kan? Oya, Elen sepertinya sedang jomblo. Kalau Abe, maybe yes, maybe no.

Ketika sudah ada di tahap atau posisi enak, rasanya kita perlu naik kelas, perlu suasana baru, tantangan baru. Dengan melihat potensi yang ada di kampung beta di desa Taeftob, rasanya beta harus pulang dan bikin sesuatu. Dari beberapa pengalaman misalnya mengikuti residensi di Bumi Pemuda Rahayu Jogja dan Asean Japan Residency di Kampung Muara, belajar dan berdiskusi dengan kawan-kawan di Katakerja atau Rumah Sanur, pernah juga berdiskusi dengan Jok pendiri Little Tokyo di Brisbane, melihat semangat berwirausaha dari kawan-kawan Sekolah Musa  dan Geng Motor Imut di Kupang hingga belajar langsung dari Opa Matheos Anin di lereng Fatumnasi beta kemudian terinspirasi untuk membuat Lakoat.Kujawas. Tentu saja ada banyak hal menarik beta temui ketika hampir 10 tahun aktif di media sosial seperti blog, Facebook atau Twitter lantas terhubung dengan begitu banyak orang hebat, kalian semua. Oke, ide ini harus beta wujudkan. Dimulai dari kampung beta sendiri, Desa Taeftob di Mollo, Timor Tengah Selatan. Tak disangkat, ketika berdiskusi dengan kawan-kawan di Kapan, ternyata mimpi kita sama. Mereka bahkan sudah lebih dulu memulainya. Bukankah ini kerja kolaborasi yang nyata? Di kampung seperti Mollo, bukan sonde mungkin apapun bisa terwujud. Kita toh sudah ada dalam pergaulan generasi Y, generasi internet.

Apa itu Lakoat.Kujawas? Beta membayangkan sejak beberapa tahun terakhir sebuah platform di dunia maya yang bisa menghubungkan siapa saja untuk bekerjasama dengan warga Taeftob, warga Mollo. Lakoat.Kujawas adalah semacam co-working space, antara sesama orang Mollo maupun dengan orang dari luar Mollo. Untuk mengawali ide ini, melihat juga dengan potensi SDM dan SDA yang ada, kami sengaja membatasi untuk berkaya di bidang pendidikan (literasi), ekonomi kreatif (ekowisata, homestay dan toko online produk-produk lokal) dan tentu saja sebuah ruang diskusi, apresiasi, workshop dan pementasan di jalan Kampung Baru, No. 2, Desa Taeftob Mollo Utara. Ini pekerjaan-pekerjaan jangka pendek dan menengah yang sudah mulai kami garap. Ke depan, Lakoat.Kujawas bisa menjadi pusat informasi dan riset mengenai sejarah, kesenian dan kebudayaan Mollo. Beta senang ketika ide ini beta kemas dalam sebuah proposal sederhana dan beta coba tawarkan ke beberapa kawan dan kerabat dekat, misalnya Romo Sipri Senda kakak beta, Sandra Frans dan Angel Nalle dari Forum SoE Peduli, Yustin Liarian dari Sumba, Thomas Benmetan,

om Danny Wetangterah dari Sekolah Musa yang kemudian ternyata diteruskan om DW ke om Oddy Mesakh, om Torry Kuswardono dan om Fritz Nggili. Sebuah jejaring yang beta juga om DW bisa bayangkan efeknya. Kita semua. Omong-omong terima kasih untuk koreksi, masukan, kritikan dan sebagainya terkait proyek social enterprise ini. Lengkap mengenai Lakota.Kujawas bisa dibaca di www.lakoatkujawas.blogspot.co.id atau sesekali mampirlah ke akun Instagram kami: @lakoar.kujawas. Sstt, ada bocoran nih, mulai bulan depan kalian sudah bisa membeli sambal lu’at dan biskuit asin khas Mollo di Instagram kami.

Beta sudah mulai mengumpulkan simpul-simpul penting di Kapan dan sekitarnya, beberapa pemuda gereja, perempuan penenun, guru, dan... membuka perpustakaan (dari bekas gudang) yang bisa diakses oleh siapa saja. Terima kasih Elen dan jaringan Buku Bagi NTT yang siap support buku-buku. Koleksi novel, buku cerpen dan puisi sih banyak. Masih kurang buku bacaan anak-anak dan buku terkait pertanian dan peternakan. Ruang ini diharapkan akan menjadi tempat bertemu, berdiskusi dan melakukan banyak hal kreatif. Putar film, pementasan juga sangat representatif. Punya ide apa yang bisa ditampilkan atau diimplementasikan di Mollo, mari sudah, saling support. Yang ingin jalan-jalan, menikmati pangan lokal (bisa beta masakin hehe), di rumah beta dan rumah warga lainnya siap menampung.

Mungkin hanya ini saja dulu kabar baik dari beta. Untuk diskusi lanjut bisa hubungi beta di 081 338 037 075 atau email: dickysenda@gmail.com. Btw, terima kasih untuk Gerald Louis Fori, yang sudah mendesain logo Lakoat.Kujawas ini. Diambil dari salah satu motif kain tenun Mollo, yang bermakna ruang sosial, ruang yang mempererat dan menghubungkan satu dengan lain. Mimpi dari Mollo.


Salam


Christian Dicky Senda

Senin, 04 Juli 2016

5+1 Things That You Need to Know About Mollo!

Matheos Anin, amaf dari Fatumnasi di dalam ume kbubu-nya
Matheos Anin, amaf  of Fatumnasi, in his Ume Kbubu

  1. Mollo is our sister. The people of Meto in the region of Timor Tengah Selatan regard Mollo as their sister, while Amanatun and Amanuban are the brothers. The girl lives on the mountain, while the boys live in the coastal area. Probably, it is also the reason why the name of Mollo is different from the typical names of areas in West Timor (especially in the region of Timor Tengah Selatan and the region of Kupang) which usually have “Ama/Am” in front, for example Amanuban, Amanatun, Amfoang, Amarasi, Ambeno, etc. For complete story of history and civilization of the people of Meto in Mollo, there are many Amaf or village elders that we can talk to. For instance, there is Matheos Anin in Fatumnasi and Petrus Almet in Lelobatan. From them, we can gather information about social structure of the people of Meto, starting from Usif (the king), amaf (the elders), Mafefa (the spokesman), to the lay people; we can also get information about traditional law, communal land, fairy tales, myths, and so on. It is an interesting experience to hear the people of Mollo talking in Dawan language or in Bahasa Indonesia because they have their own dialect. There is a beautiful rhythm which is interesting for the ears to listen to. As if they are singing the sentences. There is also a strong assimilation of culture in Mollo. The Chinese people have been living there for hundreds of years, blended in marital relationship with the people of Mollo and give births to new generations and culture. There also many people from Sabu and Bugis (South Celebes).
  2. Mollo is the complete mixture of the richness of nature and culture. As it is located in higher land, its natural landscape is also astonishing. The string of mountains from Mollo to Mutis shrouded by the forest of ampupu (Eucalyptus urophylla) one of the endemic plants in Timor. The trees of pine with pasture and cattle roam freely will remind you of villages in Europe. Mollo gives us a magical impression of its look during the rainy season and dry season. The tradition is also well-maintained. People who live in ume kbubu, the round houses of thatch grass, will welcome you with a warm smile, betel nut and sopi (local type of gin), of course if you want to drink. In that warm house, together with the hosts, you may eat jagung bose (corn cooked traditionally in Timor) and se’i (smoked meat), talking about gardens of garlic and the harvest season for the honey in the forest. There are many traditions and rituals that are well maintained, starting from opening new gardens, the planting time up to the harvest time. If you are lucky, you might be invited into the forest to do the harvest for honey. You may witness how the Meo, the hunter, persuading the bee regarded as Fetonai or grand lady with a poem so he will not get bitten. Timor offers a distinct impression that is probably different from Flores or Sumba. You might be one of the ones who wants to know about it personally.
  3. Mollo is the guardian of the environment. Since thousands of years, the ancestors of Mollo are already living in a noble task: to protect the forests and springs. Keeping the overall existing ecosystems. Because Mollo is the heart that pumps blood and energy throughout the body. There is a respect honored to the universe. There is concept of batu nama (fatukanaf) and air nama (oekanaf). The elements of the universe are characterized by place, by the spirit and ownership in accordance with the name of each clan. This sense of intimacy and ownership is the reason why the people of Mollo cannot escape from this noble task. Because the damage to one of the natural elements will also damage other elements. This intimacy gives birth to many fighters who fight against the mining and forests’ function shift. One who is known and recognized by the world is Mama Aleta Ba’un, the winner of the Goldman Prize.
  4. For culinary in Mollo, it is generally similar to other areas in Timor. Without much spices and rely more on the authenticity of the taste and texture of the food (except a few dishes that have been influenced by Chinese tradition). Jagung Bose or jagung katemak, is a type of food made of corn which is cooked along with several types of nuts, can also be mixed with pumpkins or the shoots. It is cooked without coconut milk. You can have that with the salted or even unsalted grilled or boiled meat. So if you have never eaten jagung bose and grilled meat with forest honey, you can get that in the kitchen of Timorese, the people of Mollo. Talking about culinary in Mollo which are influenced by the Chinese tradition, there are some processed meat or lard, for example babi oangke or salted biscuits. Sambal lu'at from Mollo is also typically special, because in a mountain area that has many kinds of mint or basil, for example onatlao, ut sipa, ut manu, etc, the taste of sambal lu’at can be very rich (also very good to have it along with the boiled pisang luang – a type of banana typical to Timor). Some people even add sliced ​​of bamboo shoots and beef liver. It is so delicious! If you visit the weekly market (every Thursday in Kapan, every Saturday in Tobu, and every Monday in Fatumnasi), you can also buy popcorn made of local corn strain, chips of pig skin (which is very good to have along with laru, a local alcoholic beverage made of fermented roomie palm). There are plenty of local organic fruits and vegetables that can be purchased and processed at people’s house.
  5. Looking at Mollo, it doesn’t mean that there is no problem there. Various issues, such as the mining issue and weather anomaly which affects farming, and also about the migrant workers, are today’s problem we face in Mollo. The access for education for the young people needs to be developed and encouraged. Another issue is about the tradition of storytelling which is now left behind and unfortunately has not been well-documented yet. It becomes a restlessness for activists of culture and literature. Similarly is the weaving activities for young people.

+1 Lakoat.Kujawas or #LKJWS.

In Mollo, there is a creative project created by the young people. Christian Dicky Senda, a young writer and activist, originally from Mollo, created a social enterprise concept involves local residents, along with his friends from various areas such as Kupang, Sumba, Jogjakarta and Melbourne, not only from Mollo. Lakoat.Kujawas taken from the names of two fruits that are planted and flourished in Mollo. Lakoat or loquat fruit was originally from Japan and kujawas is guava. By leveraging advances in internet technology, especially through social media, lakoat.kujawas is hoped to become a new platform that connects individuals to create collaborative working in Mollo, particularly in the arts, literacy, culture and environment areas. #LKJWS is a community that is open and connects citizens of Mollo with the people all over the world. #LKJWS pioneering a library in the village Taeftob, North Mollo, which can be accessed by anyone. #LKJWS will soon be selling handicrafts and food products typically from Mollo on Instagram, cooperate with the women weavers in Mollo. #LKJWS manage simple homestay at people’s houses. Come to stay and interact directly with the local people. Contact us through email at lakoat.kujawas@gmail.com or Whatsapp 081338037075, if you want to work collaboratively with people as well as wanting to learn about the culture Mollo. Come, we are waiting for you!

***

  1. Mollo adalah saudara perempuan kita. Orang Meto di kabupaten Timor Tengah Selatan menganggap Mollo adalah sang perempuan, sedangkan saudara lelakinya adalah Amanatun dan Amanuban. Perempuan di gunung, sedangkan lelakinya lebih dekat ke pesisir. Barangkali nama ini juga yang membedakan dengan nama wilayah lain di Timor Barat (terutama di kabupaten TTS dan Kabupaten Kupang) yang serba "Ama/Am", contohnya Amanuban, Amanatun, Amfoang, Amarasi, Ambeno dll. Untuk lebih jelas mengenai sejarah dan peradaban orang Meto di Mollo, ada banyak amaf atau tua adat yang bisa kita temui untuk mendapatkan informasi secara lengkap. Misalnya, di Fatumnasi ada bapa Matheos Anin. Atau bapa Petrus Almet di Lelobatan. Dari mereka, informasi mengenai struktur sosial orang Meto di Mollo dari tingkat paling tinggi yakni usif (raja), amaf, mafefa atau juru bicara, hingga kalangan rakyat biasa atau informasi mengenai hukum adat, tanah ulayat, dongeng, mitos dan seterusnya. Menarik sekali mendengar cara orang Mollo bertutur dalam bahasa Dawan atau Bahasa Indonesia, ada dialek yang khas. Ada semacam irama yang asyik di telinga. Seperti mendengar orang melagukan kalimatnya. Ada percampuran kebudayaan yang kental di Mollo. Orang-orang Cina sudah menetap ratusan tahun lamanya di Mollo, kawin mawin dan melahirkan generasi dan budaya baru yang tak kalah unik. Banyak juga orang Sabu dan Bugis di sana.
  2. Mollo adalah paduan komplit antara kekayaan alam dan budaya. Karena berada di dataran lebih tinggi, bentang alamnya lebih menakjubkan. Deretan gunung dari Mollo hingga Mutis yang diselimuti hutan ampupu (eucalyptus urophylla) salah satu tumbuhan endemik di Timor. Pepohon pinus dengan padang rumput dan sapi yang bebas berkeliaran akan mengingatkanmu pada desa-desa di Eropa. Mollo memberikan kesan ajaib bagi kita tentang rupanya di musim penghujan dan musim kemarau. Tradisi manusianya pun masih terjaga dengan baik. Masyarakat yang tinggal di ume kbubu, rumah bulat dari rumput ilalang akan menyambutmu dengan senyum hangat, sirih pinang dan tentu saja sopi, jika kau mau meminumnya. Di rumah yang hangat itu, kau bisa saja makan jagung bose dan daging se'i bersama tuan rumah, diajak bercerita tentang kebun bawang putih dan musim memanen madu di hutan. Ada banyak tradisi dan ritual terpelihara dengan baik, dimulai dari membuka kebun baru, menanam hingga musim panen. Jika beruntung kau bisa diajak masuk ke hutan untuk memanen madu. Melihat langsung sang meo, sang pemburu, merayu lebah yang dianggap sebagai Fetonai atau perempuan agung dengan puisi agar tidak digigit. Timor menawarkan kesan yang barangkali berbeda dengan Flores atau Sumba. Anda barangkali salah satu yang ingin mengetahuinya secara dekat.
  3. Mollo adalah penjaga lingkungan. Sejak ribuan tahun, nenek moyang orang Mollo sudah hidup dalam sebuah tugas mulia: menjaga hutan dan mata air. Menjaga keseluruhan ekosistem yang ada. Sebab Mollo adalah jantung yang memompa darah dan energi ke seluruh tubuh. Ada penghormatan kepada alam semesta. Ada konsep batu nama (fatukanaf) dan air nama (oekanaf). Elemen-elemen alam semesta dikarakteristikan, diberi tempat, diberi roh dan kepemilikan sesuai dengan nama setiap marga. Kedekatan dan rasa memiliki alam semesta inilah yang membuat orang Mollo tidak bisa lepas dari tugas mulianya. Sebab kerusakan satu elemen alam akan merusak pula elemen yang lain. Kedekatan ini melahirkan banyak jiwa-jiwa pejuang ketika tambang dan alihfungsi hutan masuk. Salah satu yang dikenal dan diakui dunia karena memperjuangkan kelestarian lingkungan adalah mama Aleta Ba’un, peraih Goldman Prize.
    Atoin Meto
  4. Kuliner Mollo umumnya sama dengan kuliner dari daerah Timor lainnya. Tanpa bumbu meriah, lebih mengandalkan keaslian rasa dan tekstur bahan makanan (kecuali beberapa masakan yang sudah mendapat pengaruh Cina). Jagung bose atau jagung katemak dimasak dengan berbagai jenis kacang, bisa juga dicampur buah dan pucuk labu. Dimasak tanpa santan. Pelengkapnya bisa daging bakar atau daging rebus dengan garam atau bahkan tanpa garam. Belum pernah makan jagung bose, daging bakar disiram madu hutan? Hal itu ada di dapur orang Timor, orang Mollo. Bicara kuliner yang berkembang di Mollo karena pengaruh Cina, ada beberapa olahan daging atau minyak babi, misalnya babi oangke atau biskuit asin. Sambal lu’at dari Mollo juga khas, karena di daerah pegunungan yang punya berbagai jenis daun mint atau kemangi, misalnya onatlao, ut sipa, ut manu, dsb, sehingga citarasa sambal lu’at dari Mollo pun akan sangat kaya di lidah (cocok sekali dinikmati dengan pisang luang rebus). Bahkan ada juga yang menambah irisan rebung dan hati sapi. Sedap sekali. Jika berkunjung pada hari pasar Mingguan (di Kapan setiap hari Kamis, Tobu setiap Sabtu atau Fatumnasi setiap Senin), kalian bisa membeli jagung bunga (pop corn) dari jagung galur lokal, keripik kulit babi (cocoknya ditemani laru, minuman beralkohol hasil farmentasi nira lontar). Ada banyak sayuran dan buah organik lokal yang bisa dibeli dan diolah di rumah warga.
  5. Melihat Mollo, tidak berarti tanpa masalah di sana. Isu lingkungan seperti tambang dan anomali cuaca yang berpengaruh pada pertanian warga serta isu pekerja migran adalah sebagian problem Mollo hari ini. Akses generasi muda pada pendidikan juga harus terus dibangun dan didorong. Tradisi bertutur yang belakangan makin ditinggalkan dan sayangnya belum terdokumentasi dengan baik adalah keresahan tersendiri bagi kalangan pegiat kebudayaan dan kesusastraan. Begitupula aktivitas menenun bagi kaum muda. 
+1. Lakoat.Kujawas atau #LKJWS. Di Mollo ada sebuah proyek kreatif yang baru saja digagas orang-orang mudanya. Christian Dicky Senda, seorang cerpenis dan aktivis muda asal Mollo mengagas konsep social enterprise ini melibatkan warga lokal bersama kawan-kawannya yang tersebar di berbagai daerah seperti Kupang, Sumba, Jogjakarta dan Melbourne, tidak hanya dari Mollo. Lakoat.Kujawas diambil dari nama dua buah yang tumbuh subur di Mollo. Lakoat atau loquat buah yang berasal dari Jepang dan kujawas (guava) atau jambu biji. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi internet khususnya media sosial, lakoat.kujawas diharapkan menjadi sebuah platform baru yang menghubungkan setiap orang untuk membuat kerja kolaborasi di Mollo, khususnya dalam bidang kesenian, literasi, kebudayaan dan lingkungan. #LKJWS adalah sebuah komunitas yang terbuka dan menghubungkan warga Mollo dengan warga seluruh dunia. #LKJWS merintis perpustakaan di desa Taeftob, Mollo Utara, yang bisa diakses siapa saja. #LKJWS segera menjual produk kerajinan tangan dan makanan khas Mollo di Instagram, bekerjasama salah satunya dengan perempuan-perempuan penenun Mollo. #LKJWS mengelola homestay sederhana di rumah warga. Tinggalah dan berinteraksi langsung dengan warga lokal. Kontak kami di email lakoat.kujawas@gmail.com atau Whatsapp 081338037075, jika ingin melakukan kerja kolaborasi dengan warga sekaligus ingin belajar kebudayaan Mollo. Datang saja, kami menanti. 


NB: Foto-foto oleh  Valentino Luis, desain logo oleh Gerald Louis Fori.

Rabu, 15 Juni 2016

Support Perpustakaan Desa Taeftob Mollo Utara

Dukung berdirinya perpustakaan warga di desa Taeftob, Kecamatan Mollo Utara, TTS dengan mendonasikan buku bacaan apa saja (kalau ada buku bacaan anak-anak dan buku terkait teknologi pertanian dan peternakan lebih oke lagi). Supaya anak-anak Mollo juga punya kesempatan untuk mengakses bahan bacaan selain bermain dan nonton TV. Dan para orang tua pun punya akses untuk mendapatkan informasi yang luas terkait dengan aktivitas harian mereka. 
Desa Taeftob sendiri terletak di kecamatan Mollo Utara, sebuah daerah di dataran tinggi dengan curah hujan yang cukup baik dan dekat dengan gunung Mutis, gunung tertinggi di NTT. Mayoritas penduduk di Mollo adalah suku Dawan, dengan pekerjaan petani dan peternak, khususnya sayuran, bawang, jeruk, jagung, kacang, sapi, dsb. Informasi lebih lanjut mengenai project social enterprise lakoat.kujawas, silakan cek link berikut http://lakoatkujawas.blogspot.co.id/2016/06/mollo-memanggilmu.html. Kita semua diajak untuk ikut berkontribusi membangun Mollo, membangun Timor. 

Alamat pengiriman buku:

Christian 'Dicky' Senda

Jalan Kampung Baru, No. 2, Desa Taeftob, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten TTS, NTT 85552, Tlp. 081338037075