Oleh Dicky Senda*
Saat penutupan festival panen Mnahat Fe'u di
Lakoat.Kujawas akhir Maret lalu, saya senang akhirnya semakin banyak orang muda
mengontak dan menyatakan ketertarikan mereka untuk ikut dua sesi diskusi di
Lakoat.Kujawas yang memang ditujukan untuk orang-orang muda Timor Tengah
Selatan.
Beberapa diskusi akhirnya terjadi di sela acara penutupan festival kecil itu.
Baik dengan teman-teman dari SoE yang menyempatkan diri datang ke markas kami
di desa Taiftob, maupun yang mengajak diskusi lepas di whastapp atau facebook.
5 dari 8 adalah orang muda TTS: Ari Saekoko, Randi Tamelan, Rini Foa, Sonya Manafe dan Dicky Senda |
Ide
tentang Lakoat.Kujawas hingga visi misi sebenarnya sudah saya singgung dalam
beberapa wawancara yang hasilnya bisa dibaca dalam tautan berikut (Lakoat.Kujawas, Proyek Kreatif Anak Muda NTT). Pada intinya
saya sendiri juga tidak menyangka bahwa belum genap setahun merintis
Lakoat.Kujawas (selanjutnya saya sebut LKJWS), progresnya ternyata melampaui
rencana awal. Saya ingat betul suatu ketika saya memutuskan untuk berhenti
bekerja sebagai konselor pendidikan di sebuah SMP swasta di Kupang, setelah
hampir 5 tahun aktif bergiat di komunitas orang muda, terlibat dalam beberapa
pekerjaan yang berhubungan dengan bagaimana meningkatkan kapasitas generasi
muda di NTT lewat bidang seni budaya maupun ekonomi kreatif. Dalam rentang
waktu tersebut saya menyalurkan minat berkesenian, belajar jadi fasilitator,
belajar mengorganisir orang muda, sekaligus membangun jaringan. Ternyata dengan
aktivitas seperti itu, arah mimpi saya semakin kelihatan. Ada dua orang muda
NTT yang dari mereka saya belajar banyak (bisa jadi mereka sonde sadar kalau
mereka menginspirasi orang lain dan orang lain mempelajari banyak hal dari
mereka). Danny Wetangterah dan Valentino Luis. Danny adalah tokoh simpul nan
penting dari banyak gerakan orang muda di NTT 5 tahun terakhir. Energinya
positif dan besar, seorang yang visioner, fasililitator ulung dan sangat bisa
merangkul banyak kalangan. Beliau adalah orang pertama yang saya pikirkan
ketika mulai menggarap proposal LKJWS. "Oke saya harus berdiskusi banyak dengan om DW." Om DW, biasa kami menyapanya.
Nama
berikutnya, sebenarnya sonde asing juga di dunia kreatif di NTT, khususnya
fotografi dan travel writing. Perkenalan
dengan beliau berlangsung cepat dan jarang ketemu sebenarnya, tapi ada satu
momen yang mendobrak sebuah zona nyaman, bahkan terlalu sempit berpikir. Bahwa mungkin saja pencapaian saya
sejauh ini ternyata tidak maksimal karena kurang berani dan total dalam
mengambil sebuah keputusan. Dalam trip singkat kami dari Kupang-Mollo-Kupang, saya lebih banyak mendengar dan keberanian mengambil keputusan untuk berbuat apa yang sudah menjadi kekuatan dari dalam diri, itulah poin penting yang saya ambil. Saya melihat penting untuk menjadi manusia merdeka.
Mereka berdua tentu saya tidak punya niat khusus
untuk menggurui saya, memberi masukan ini itu, namun dalam posisi, apa yang sebenarnya
sedang mereka lalukan atau gaya mereka, nilai yang mereka anut yang muncul
dalam sebuah obrolan pendek kami ternyata menimbulkan banyak pertanyaan dan
refleksi dalam diri saya kemudian hari. Dan kabar baiknya, bahwa itu jadi
energi baru baru saya. Lalu kemudian arahnya sudah sampai pada titik ini, bisa
dibaca dalam hasil wawancara saya dengan Beverly Rambu dari Victory News ini.
Ide
awal LKJWS adalah sebuah integrasi perpustakaan warga, ruang produksi oleh-oleh
khas Mollo, homestay yang dikelola oleh warga dan sebuah komunitas yang
berfokus pada kerja-kerja kesenian, literasi dan pertanian yang melibatkan
anak-anak dan orang muda. Bicara integrasi, saya bertolak dari bagaimana di
awal mula saya sadar bahwa ada begitu banyak potensi atau aset yang kita punya
di Mollo. Paling tidak saya belajar untuk melihat potensi atau aset yang paling
kecil lingkupnya yakni apa yang ada di sekeliling rumah di desa Taiftob, Mollo,
Timor Tengah Selatan.
Ada
kebun kopi yang ditanam oleh bapak saya sejak tahun 90an, ada banyak sekolah
disekeliling rumah saya (artinya ada banyak anak-anak dan orang muda). Keluarga
saya suka memasak dan mama saya punya banyak sekali resep kuliner yang rasanya
akan punya nilai lebih kalau itu dikembangkan. Ini belum bicara resep kuliner
Mollo pada umumnya. Saya suka ke pasar di Mollo dan melihat begitu kayanya
hasil pertanian di Mollo. Dari aktivitas saya sebagai penulis sastra, aktif di
komunitas kesenian, punya pengalaman sebagai konselor pendidikan, saya
membayangkan bahwa semua potensi itu berada dalam satu ruang lingkup dan punya
potensi untuk saling bersinergi. Saya membayangkan di perpustakaan yang akan saya
bangun, warga di kampung bisa mengakses buku bacaan, ada ruang bagi anak-anak
untuk belajar bahasa Inggris, teater, tari, dll.
Ada
ruang diskusi bagi orang muda. ada tempat bagi mereka untuk belajar
berwirausaha, mengembangkan potensi pertanian dan tenun jadi lebih bernilai
ekonomis. Wisatawan yang ingin ke Mollo punya akses juga ke homestay yang
dikelola oleh warga. Menginap di rumah warga, ada interaksi, pertukaran nilai
dan informasi, ada proses belajar di sana. Dan orang muda sendiri bisa belajar
jadi guide, para penenun bisa lebih optimis sebab punya pasar yang jelas.
Teman-teman yang mengojek atau jadi sopir diajak dan dilatih juga untuk bisa
menjadi pengantar tamu yang baik. Bahwa pada akhirnya orang Mollo harus melihat
kampungya dengan positif, dengan penuh optimis. Bahwa proses ini ini sebenarnya
menyiapkan generasi muda sebagai pusat dari lingkaran aktivitas yang
terintegrasi ini untuk kehidupan yang lebih baik di Mollo ke depannya.
Kami memulai dengan melihat kebaikan bukan masalah |
Waktu
itu saya juga sudah melihat bahwa kekuatan jejaring pertemanan yang terbangun
selama ini bisa jadi salah satu modal pendukung bagi LKJWS. Dan benar saja,
sejak awal proses pemetaan potensi desa, pembuatan materi kampanye atau
fundrising, penggalangan buku, dll kami dibantu oleh kekuatan jejaring ini. Oleh
mereka yang dengan bangga menyebut diri mereka relawan. Orang muda dengan visi
yang menurut saya cemerlang dan sangat positif melihat proses hidup ini. Mereka
membantu membuka banyak akses untuk warga sekaligus belajar dari warga. Proses
ini menarik sebenarnya. Makanya dalam perencanaan awal, kami menggambarkan
LKJWS sebagai co-worksing space, ruang kerja kolaborasi. Teman-teman relawan
dari luar bukan saja datang membantu warga tapi mereka juga bisa belajar banyak
hal dari warga. Beberapa diskusi sastra, sejarah, budaya dan kesenian pada
akhirnya menjadi sangat menarik dan kaya bagi kami semua sebab itu dilihat dan
dibicarakan dari berbagai sudut pandang. Kami sedang dalam proses menjadikan
LKJWS sebagai pusat pengarsipan kekayaan intelektual dari dan tentang Mollo,
dalam berbagai disiplin ilmu.
Dalam
prosesnya, kami (ya, saya menyebut kami, sebab LKJWS kemudian menjadi ruang
bersama banyak sekali orang muda Timor yang punya visi misi sama) melihat bahwa
sebuah aksi kami ternyata punya imbas ke beberapa aspek dalam kehidupan sosial
masyarakat Mollo pada umumnya. Apa yang terjadi di LKJWS akhirnya dibaca oleh
banyak orang dari luar sana sebagai gerakan yang mampu menjawab beberapa
tantangan internal orang Mollo. Semua itu tentu saja semakin memperkuat arah visi
misi kami. Misalnya, tentang bagaimana konsistensi kami mendukung tumbuh
kembang generasi muda desa Taiftob lewat berbagai program rutin di bidang
kesenian dan literasi. Pendidikan sangat penting.
Di
sisi lain kami merasa bahwa ada yang sedikit kurang dari rasa percaya diri
generasi muda Mollo. Buku bacaan, kelas menulis kreatif dan berbagai kelas
kesenian kami percaya bisa meningkatkan rasa percaya diri mereka. Generasi yang
lebih percaya diri akan mampu melihat potensi dalam diri sekaligus potensi di luar
diri mereka. Yang pede akan punya banyak cara untuk bereksplorasi,
mengoptimalkan semua minat dan bakat yang ia punya. Mungkin terlihat sederhana,
tapi dampaknya bisa sangat besar. Kedua, kami pikir bahwa penting juga untuk
menguatkan kembali identitas generasi muda Timor sebagai, ya...orang Timor.
Saya pribadi melihat ada banyak lompatan yang mau tidak mau, siap tidak siap,
dialami oleh generasi muda kita. Dari ruang yang lebih kecil: tradisi mereka,
bahasa ibu mereka, ke satu ruang yang lebih luas: modernitas dan segala macam
kerlap-kerlip yang ditawarkan. Akar dalam ruang kecil itu yang kami rasa perlu
diperkuat. Yang bisa kami lakukan di LKJWS adalah ya seperti proses integrasi
semua elemen tadi dengan anak atau orang muda sebagai titik pusatnya dan lewat
aktivitas berkesenian kami anggap bisa membantu menumbuhkan akar dalam ruang
kecil tadi.
Pada
akhirnya, saya lewat LKJWS, punya satu kerinduan yang saya sendiri baru rasakan
ketika akhir ini banyak dipertemukan dengan teman-teman relawan dari TTS. Di
media sosial kami seperti Instagram, ada banyak sekali dukungan dan sambutan
positif. Rasanya seperti ada satu energi yang sama yang akhirnya menarik kami
semua untuk berada di kutub yang sama. Barangkali itu terkait kecintaan dan
cara kami melihat TTS sonde sebagai kabupaten tempat kami lahir dan bertumbuh
tapi berharap bahwa ini bisa jadi rumah bersama yang lebih nyaman buat semua,
apapun agamanya, sukunya, marganya, tingkat pendidikannya, pandangan
politiknya.
Kadang
beta sedih kalau sampai detik ini, masih ada yang bicara kasak-kusuk, “katong
ditolak, diperlakukan sonde adil ya karena katong sonde dekat dengan kekuasaan,
katong sonde seagama, sonde sesuku, semarga, sama pandangan politiknya.” Atau
karena kita terlalu vokal mengkritisi. Sedih melihat kondisi ini sebenarnya.
Primordialisme masih jadi acuan, bukan kemampuan diri, bukan prestasi. Beta
melihat itu yang akhirnya membuat kita lambaaat sekali berkembang. TTS ini
besar wilayahnya, penduduknya, budaya dan kearifan lokalnya, pertaniannya,
banyak sekali tapi sekat lu Mollo beta Amanatun dia Amanuban, lu Protestan,
beta Katolik dia Islam masih terasa. Sekat itu yang memperlambat kita untuk
bergerak maju, karena satu pihak akan menahan pihak lain. Satu akan diam-diam mendorong
bahkan menyikut yang lain. Diam-diam dalam rumah kita mengkompetisikan banyak
hal yang sonde sehat.
Tapi
syukurlah saya masih melihat ada harapan. Terus terang, saat main Instagram
atau Facebook dan ketemu ada orang TTS yang keren, inspiratif, berprestasi
rasanya bangga sekali dan ingin segera berteman dengannya, kepoin semua
aktivitasnya dan bila perlu ada kesempatan untuk terkoneksi dalam kegiatan
nyata. Misalnya, saya sudah melihat Randi Tamelan, salah satu rekan saya di
LKJWS sejak lama di media sosial. Orang ini potensial. Seperti halnya saya
bersyukur bisa terkoneksi dengan Sandra Frans, dkk di Forum Soe Peduli, dengan
Sarlota Sipa sejarawan muda TTS, dengan Esti Tanaem, Win Pitanuki, Angel Nalle,
Thomas Benmetan, Samrid Neonufa, Mardon Nenohai, Dody Kudji Lede, Un Weo, atau
Gide Fanggidae dan banyaaaak lagi orang muda TTS dengan pemikiran progresif,
yang mencintai akarnya sekaligus pede sebagai generasi baru yang sonde melihat
TTS, kampung halaman mereka seperti katak dalam tempurung kelapa. Mungkin ini
efek dari hasil merantau, sekolah di luar, ketemu banyak orang berbeda,
mengadopsi banyak nilai dan perspektif baru.
Ketika
semakin banyak bertemu orang TTS yang muda dan hebat ini, syukur-syukur bisa
berkolaborasi dalam wadah seperti Forum SoE Peduli, Kelas Berbasis atau LKJWS,
saya optimis bahwa TTS ke depan adalah TTS baru yang melihat dirinya sonde
secetek dan sekecil, hanya “batau dong dong dong pung orang sa”. Kalau
pemikiran itu masih jadi dominasi generasi katong pung bapa-mama maka saatnya
nanti kita katong muda ini, bisa jadi pembaharu dimulai dari lingkup terkecil,
dari komunitas basis masing-masing.
Ketika
bicara sejarah dengan Sarlota saat festival Mnahat Feu di LKJWS beberapa waktu
lalu, embrio kabupaten TTS ini sudah dibangun Belanda di dekade 1900an, lalu
1920an ibukotanya dari Kapan dipindah ke SoE, lalu setelah merdeka terus
berkembang hingga saat ini. Namun kalau mau jujur dalam periode yang panjang
ini, sudah ratusan tahun berjalan, mengapa kok seperti berjalan di tempat, bahkan
cenderung mundur. Kalau berangkat dari perspektif aset atau potensi yang saya
kemukakan di atas, harusnya sudah ada banyak energi yang mendorong untuk
bergerak maju. Kekuatan aset itu ada di setiap komunitas basis kecil di
masyarakat. Sayangnya, kita sudah terlalu lama dibendung dalam kotak-kotak.
Lu-lu, beta-beta, bukan lagi kita.
Sungguh
mati, melihat banyak kawan saya yang muda-muda dan cenderung bebas dari
kotak-kotak tadi, saya optimis bahwa kampung kami bisa berkembang lebih baik.
Belakangan saya ikut mengerjakan project ruang-ruang alternatif bagi warga
seperti LKJWS, di beberapa desa di Amanuban dan bertemu banyak orang muda hebat
sebagai penggerak desa, para pendeta yang muda dan progresif yang mau
berkolaborasi tanpa dibatasi sekat-sekat sonde penting dan lagi-lagi akhirnya
kita melihat diri kita dan aset di sekeliling kita sebagai potensi besar untuk
kemajuan bersama, sonde untuk kemajuan diri sendiri. Saya merasa perlu menulis
pemikiran ini dan berharap bisa ketemu dan berjejaring dengan lebih banyak
orang hebat dari TTS.
Beta
selalu bermimpi, kalau orang-orang muda ini kelak ada di posisi-posisi
strategis di TTS, mereka akan jadi figur yang sonde hanya bekerja keras namun
juga adil dan bebas dari kotak-kota sempit.
Kapan,
9 April 2017
Dicky
Senda,
lahir dan menetap di Mollo Utara. Alumni Fakultas Psikologi Universitas Mercu
Buana. Bergiat aktif di berbagai komunitas orang muda di NTT: Komunitas Sastra
Dusun Flobamora, Komunitas Film Kupang, Solidaritas Giovanni Paolo, Kupang
Bagarak, Forum SoE Peduli dan Lakoat.Kujawas. Menulis buku Cerah Hati (2011),
Kanuku Leon (2013) dan Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi (2015). Pernah hadir dan
memperkenalkan karyanya sebagai emerging writer di Makassar International
Writers Festival (2013), Bienal Sastra Salihara (2015) dan Asena Literary
Festival (2016). Peserta residensi seni dan lingkungan Bumi Pemuda Rahayu
(2015) dan Asean-Japan Residency Program (2016). Dapat dikontak via dickysenda@gmail.com.
Lets meet up Dicky
BalasHapus