We present a concept of social enterprise/social entrepreneurship based in Mollo, Timor and utilize the natural and cultural potential for economic improvement as well as the empowerment of local communities, particularly young people. Our focus includes literacy, art-culture and the creative economy. This project involves the youth community, village library as a center for arts and culture, homestay and creative economy. It is located in Jl. Kampung Baru, No. 2, Village of Taeftob, District of North Mollo, South Central Timor, East Nusa Tenggara, Indonesia 85552. Telp./Whatsapp 081338037075. E-mail: lakoat.kujawas@gmail.com.

Tampilkan postingan dengan label village. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label village. Tampilkan semua postingan

Selasa, 20 September 2016

Suatu Hari Minggu di Mollo


Sherly Indrayanti

Sebagai penghuni apartemen, setiap pagi saya bangun dengan bantuan bunyi alarm hp yg minimal saya snooze sebanyak 3x. Ketika bangun yang saya dengar seringnya suara klakson mobil-mobil yang antri mengantar anak-anak ke sekolah di seberang apartemen saya. Meskipun tinggal di lantai yang cukup tinggi, suara-suara dari jalan raya depan tetap terdengar sampai ke kamar tidur.

Pagi itu hari Minggu pertama di bulan September, bulan yang awalan katanya sama dengan nama saya. Bunyi ayam berkokok mendahului bunyi alarm hp yang sengaja saya pasang supaya saya tidak ketinggalan matahari terbit. Ayam pun berkokok bersahut-sahutan seperti bunyi alarm yang tidak bisa di snooze. Semesta memang selalu punya caranya sendiri untuk bersinergi dengan manusia.
Berjalan sedikit ke belakang rumah Dicky Senda tempat saya menginap, lalu kami nangkring untuk menyapa balik matahari yang setiap pagi tidak pernah absen menyapa kita (terkadang matahari mengalah pada awan dan hujan, bukan karena dia malas, tapi karena dia juga harus berbagi panggung).



Matahari pagi itu awalnya malu-malu tapi kemudian menyembul keluar dengan gagah berani. Seperti biasa, karena suka kurang preparasi dan mudah teralihkan, dengan batere kamera yang sekarat saya masih sibuk foto ini itu kayak anak norak (emang norak). Waktu matahari sedang gagah-gagahnya menampakan diri, batere kamera pun habis dan saya terpaksa untuk menggunakan kamera hp utk memotret momen yang ditunggu itu. Saat-saat seperti ini lah yang melatih kita untuk berdamai dengan diri sendiri termasuk memaafkan kebodohan sendiri.

Di desa ini, mayoritas warganya adalah Nasrani, sehingga di hari Minggu pagi sudah terdengar suara lonceng-lonceng gereja. Dicky ikut misa bersama Bapak dan saya ikut ibadah Minggu bersama Ibu di GMIT Ebenheizer, lima menit berjalan kaki dari rumah mereka. Ibadah berlangsung tertib dan hampir semua jemaat masih membawa Alkitab di tangannya, kecuali saya yang membawanya dalam bentuk aplikasi. Saya sangat menikmati suasana Ibadahnya dan merasa terberkati di tengah sebuah kesederhanaan.

Sepulang gereja, saya pun memulai petualangan bersama Dicky Senda, yang selain sebagai pemilik Lakoat.Kujawas, juga menjadi guide di hari itu. Kami jalan menyusuri sungai Sebau menuju Kampung Noebesi dan Manesat Anin, untuk bertemu dengan para mama penenun dan panen hasil kebun bersama warga.

Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 2 jam dengan diselingi sesi berfoto di beberapa spot dan makan siang di tepi sungai. Dicky ternyata masih sempat memasak pagi itu dan membawa bekal utk makan siang kami. Makan nasi dengan lauk pauk sederhana dan sambal luat, di bawah langit biru sambil diiringi suara aliran sungai. Inilah yang disebut sebagai kemewahan dalam hidup.
Belajar tenun
Kami pun tiba di desa Noebesi, di sambut Mama Mina yang kemudian menemani kami berjalan sampai ke tempat Mama Via. Salah satu ciri khas di Timor adalah membawakan sirih dan pinang untuk orang yang dijunjungi. Dicky juga berpesan supaya saya mau belajar makan sirih pinang kalau ditawari (sonde boleh menolak). Siang itu pertama kalinya mengunyah pinang diikuti sirih dan kapur. Menurut Dicky, kalau salah teknik mengunyahnya, pinang bisa memabukkan. Dan saya pun berhasil. Yeayy!! Belajar hal-hal baru memang selalu menyenangkan, sesederhana apa pun itu :)

Dari Noebesi kami lanjut ke Manesat Anin ditemani Mama Via, Mama Mina, dan anak-anak (saya sudah tanya satu per satu namanya tapi belum hafal semua) Di sana, kami dijamu dengan singkong kapok dan jagung bose yang dipanen langsung dari kebun warga setempat. Lalu siang yang mulai terik itu pun dilengkapi dengan sejuknya air kelapa yang dipetik langsung dari pohon. Jefry adalah jagoan kami hari itu, karena dia yang menyodorkan diri untuk memanjat pohon kelapa.

Menjelang sore, kami pamit untuk kembali ke Taeftob sebelum gelap menjemput kami di perjalanan. Tetiba saya membayangkan perjalanan menyusur sungai dengan jalan berbatu yang tadi kami lewati dan meragukan diri sendiri apakah masih sanggup menempuh jalan pulang. "Andai ada jalan pintas atau ada kendaraan yang menjemput ke sini", begitu gumam saya dalam hati. Sayangnya, tidak ada pilihan lain. Berani berangkat ya harus siap pulang. "Semua hal dalam hidup ini ada ongkosnya, toh? Termasuk kebahagiaan!"
Panen ubi kapok bersama mama Via
Namun rupanya, semesta mendengar gumaman saya itu. Empat bocah dari Noebesi menemani kami berjalan sampai ke mulut sungai yang adalah 97% perjalanan. Di jalan bertemu dengan beberapa anak remaja yang juga akan kembali ke asrama sekolah di Kapan. Perjalanan jadi ramai diiringi tawa riang para bocah. Sesekali (baca:sering) ketika saya kesusahan menyeberang sungai, mereka sibuk menata bebatuan supaya saya bisa menyeberang sungai tanpa harus membuka sepatu. Di saat lain ketika harus terpaksa membuka sepatu dan berjalan di bebatuan tanpa alas kaki karena berdekatan dengan titik menyeberang berikutnya, mereka dengan suka rela meminjamkan sandal nya buat saya. Meskipun berlagak bak petualang, tetap saja saya anak perkotaan yang cupu menghadapi alam. Beberapa kali oleng ketika salah memilih batu pijakan. Untungnya saya tidak sampai terjatuh karena selalu ada saja tangan yang sigap memegang saya. Seringnya tangan itu adalah tangan Jefry, yang memang usianya sedikit lebih besar dibanding adik2 yang lain. Anak-anak ini adalah helikopter saya dan lagi-lagi, Jefry menjadi jagoan saya hari itu.

Perjalanan pulang yang awalnya saya pikir akan terasa lebih lambat dan menghabiskan energi, ternyata terlalui dengan lebih singkat. Keceriaan, kepekaan, dan ketulusan anak-anak Noebesi dan Maesat Anin menyisakan kehangatan yang teramat dalam di hati saya.

Saya berharap mereka semua bisa sekolah sampai tinggi dan bisa membangun desa nya. Saya justru tidak berharap mereka buru-buru mengenal internet. Biarlah mereka tumbuh alami tanpa percepatan, bermain dengan alam nyata sehari-hari yang bukan virtual. Ya Tuhan, jagalah mereka dalam tangan Mu.

***
bersama Keluarga Senda
Lakoat.Kujawas Homestay terletak di Jalan Kampung Baru, No. 2 Desa Taiftob Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, NTT. Berjarak 130 km dari Kupang atau 18 km ke utara dari kota SoE. Untuk mencapai ke sini, Anda bisa naik travel dari Bandara El Tari, Kupang ke Kapan.

Berbeda dari Kota Kupang yang terik dan berdebu, Mollo merupakan daerah pegunungan yang sejuk dan asri. Tingkat polusi nya sangat rendah karena selain letaknya di pegunungan, alamnya hijau, sangat sedikit juga kendaraan yang lalu lalang sehari-hari. Air untuk mandi juga terasa sejuk di kulit. Setiba di sini, kepenatan (setelah hanya tidur 3 jam di malam sebelumnya, penerbangan 5 jam dari Jakarta, dan perjalanan 3.5 jam dari Kupang-Kapan dengan AC alam) seketika hilang.

Selama menginap, saya berkesempatan menikmati masakan rumah yang disiapkan langsung oleh Dicky Senda dan Mama Rika. Menu yang terhidang tidak pernah luput dari sayuran segar dan sambal lu'at. Campuran jeruk di setiap hidangan memberikan sensasi kesegaran tersendiri di lidah yang membuat saya selalu nambah dan lupa pada kata diet. Pilihan karbohidrat yang tersedia cukup bervariasi mulai dari beras merah, ubi atau singkong rebus, dan jagung bose kupas yang direbus bersama kacang-kacangan. Lauk yang cukup khas adalah lawar jantung pisang. Kebetulan Dicky senang berkreasi dengan bahan pangan lokal dan hasil olahannya selalu pas di lidah.

Mama Rika selalu bangun pagi-pagi dan langsung sibuk di dapur, sehingga begitu saya keluar kamar, di meja makan pasti sudah tersedia camilan ringan yang sangat pas untuk sarapan. Pisang goreng, kue cucur, sukun goreng, dan roti isi kelapa gula merah adalah aneka kreasi camilan buatan Mama Rika yang sempat saya nikmati. Selain pada bahan-bahan yang segar dan alami, kenikmatan makan di sini terletak pada sentuhan tangan Ibu yang membuat saya berasa di rumah.

Keramahan penduduk lokal juga merupakan salah satu faktor yang membuat saya betah di sini. Bukan sekedar ramah dan murah senyum, penduduk di sini selalu bertegur sapa satu sama lain ketika bertemu di jalan meskipun belum tentu hafal nama. "Mama! Bapa! Kakak!" Begitu kira-kira cara mereka saling menyapa. Cara bercakap-cakap dengan orang baru pun jauh dari kesan basa-basi sehingga menghadirkan keakraban tersendiri.
Ume Kbubu, rumah tradisional suku Dawan
Beberapa daya tarik wisata di Mollo antara lain Trekking Sungai Sebau menuju Desa Noebesi dan Manesat Anin, Belanja bahan pangan di Pasar Tradisional Kapan, Berkunjung ke Desa Fatumnasi, Air Terjun Oehala, dan Benteng Kote di Sebau. Mudah-mudahan saya berkesempatan datang lagi ke Mollo untuk menikmati tempat-tempat di atas.

Sebuah hari Minggu penuh makna, sebuah kado yang datang lebih awal di tahun ini. Terima kasih, Dicky Senda yang sudah memperkenalkan petualangan kecil ini. Dicky Senda, kawan baru saya ini, adalah seorang penggiat seni kelahiran Mollo yang memilih untuk pulang ke desanya untuk merintis kewirausahaan sosial di sana.

Penulis tinggal di Jakarta dan bekerja di UNDP

Mama Martha dari Noebesi

Anak-anak Kampung Noebesi


Belajar Makan Sirih Pinang
Anak-anak lembah Mollo

Bersama warga kampung Manesat Anin

Kamis, 15 September 2016

Knowing More Than Just Mollo


Lakoat.Kujawas Homestay is located on Jalan Kampung Baru, No. 2 Taeftob Village North Mollo, Southern Central Timor, East Nusa Tenggara. It is located 130 km away from Kupang or 18 km north of SoE City, lakoat.kujawas offers more than just a house to stay, enjoying the typical fresh air of the mountains, a wealth of history and tradition, the hospitality of Mollo people, cooking and enjoying a variety of local food directly from the community houses. Managed by Christian Dicky Senda, a short story writer who has a great interest in arts and culture of Mollo with his farmer parents and have a great interest in the culinary world. Dicky is currently researching the diversity of Mollo local food along with its processing recipes for the purposes of writing literature. (Mollo, Selayang Pandang, can be readhere)
the host: Dicky, Mama Rika and Bapa Senda

We offer a number of special activities. If you're in lakoat.kujawas on Thursday, you will be invited by Dicky to explore traditional markets in Kapan, the capital district of Northern Mollo. There, you will find vast organic agricultural products from the community, including food ingredients that are rarely found in markets. You can shop and cook them together with Dicky and Mama Rika in lakoat.kujawas kitchen. Another excitement that we offer is trekking to several villages surrounding Tafetob Village, meeting with the weavers and eating local food in Bosen Village (weaving class with Mama Yakobeth and friends is a special offer for you), interacting with oranges and betel farmers in Lelokasen. Or, you can choose to do the trekking, further and more challenging to Manesat Anin and Noebesi village as far as 8 km, round trip on crystal clear Sebau River from Mutis Mount, heading to the south coast of Timor. In Noebesi and Manesat Anin, you can visit the weaver and community garden, harvesting sweet potatoes and vegetables, learning to make bose corn and cooking with local residents. There are several special menus, such as bose corn, boiled yellow cassava and roasted sweet potatoes, all of which can be enjoyed with grilled chicken and gala-gala (turi) flowers lu'at chutney.Don't forget to bring books or make some fun activities with children there. 
Kapan traditional Market

Lakoat.Kujawas Homestay is integrated into social entrepreneurship project tried to be developed by Dicky Senda tried together with his native Mollo friends with the mission of ecotourism development in Mollo. Those integrated include co-working space with library and discussion room as a platform for various employment opportunities in achieving and collaboration work with Mollo community in arts, literacy, culture, agriculture and creative economy. Lakoat.Kujawas is also pioneering an online store on Instagram, selling several typical products of Mollo, such as typical organic lu'at chutney of Mollo, Mollo homemade coffee, organic corn bose, Mollo honey forest and woven fabrics of Mollo. So when visiting Mollo, you will not only stay and enjoy the richness of nature and culture of Mollo, but you can also try a brand new experience in interacting and exchanging experiences with the locals, learning local wisdom and contributing anything, moral and material for the development of local resources. (See also 5+1 Things You Needto Know about Mollo).

Below are several other tourist destinations that you can visit while staying at Lakoat.Kujawas.

1.      Oehala Waterfall, located in the region of Central Mollo. It takes about 20 minutes by private vehicles leased from local people to reach this cascading waterfall. You can enjoy sunset with a view Mollo Mount and Noelmina Valley from Bolaplelo altitude, stopping by orange and vegetable plantations Oelbubuk and Netpala. Netpala Village itself is one of the oldest indigenous villages in Mollo.
Oehala waterfall

2.      Fatumnasi, it has natural forests and rivers. It is one of the entrances to Mutis Mount, which is considered sacred by people Mollo. In protected forest near Fatumnasi, you can see Ampupu trees, a type of flourishing eucalyptus, even a part of forest had been dwarfed, and forming a natural bonsai. In Fatumnasi, you can stay at Lopo Mutis Homestay, run by Anin family. The host, Father Matheos Anin is friendly figure and is one of the elders of Fatumnasi. Staying in Lopo Mutis in the form of ume kbubu, a traditional house of Dawan tribe, that will provide an amazing experience. For you who are interested in learning the culture and history of Mollo people, Father Anin is one of proper speakers. If you come to Fatumnasi on Monday, you can go to traditional markets and shop for local food ingredients to be cooked with family of Father Anin. In the afternoon, it can be an opportunity for trekking to the carrot, potato, leek and garlic plantation owned by community or bathing in the river of which springs originated from the slopes of Mount Mutis. Do not forget to buy woven fabrics created by women in Fatumnasi as souvenirs. On the way to and from Fatumnasi, there are several attractive points that you can visit, including Fatukoto Lake, and drop by to one of the important sites of Mollo people, namely Fatunaususu which has become a symbol of opposition of the residents who refused marble mining, a dozen years ago. 
Netpala Village
3.      Promenade in Kapan Town, the capital district of North Mollo. It is one of the old towns in Timor, built by the Dutch when they desired control over the sandalwood trade route in Timor, reportedly it was once called Midden Timor, for it became a halfway point in the territory controlled by the Dutch, before being moved to SoE, into Zuid Midden Timor, a level equals to regency and remains until today. Prior to the Dutch entry, Kapan itself was still a part of Oenam kingdom, led by King Sonbai, and there were many Chinese who came to trade and married to local residents. The traces of Chinese descents in Mollo can still be found today in Chinatown, O'besi Village to remote areas in mountain slopes of Mollo. Since the 1950s, the people from Bugis and Sabu also entered Kapan, from initially traded every day in markets, to finally settle down and form its own community. Bugis Village in the old market areas (nearby Embun Mollo VIllage and Chinatown) and the village settlement of Sabu people in new markets. In Embun Mollo Village, Rest house was once built, and is highly popular as a guest house for important officials and guests visiting Timor, including General Nasution. Unfortunately, the historic building was torn down and rebuilt for a new structure, thus losing its historical value. In Kapan, if you are interested in learning the art and culture, you can meet two key figures, some kinds of physicians who master various Mollo traditional treatments, and one the other one is speaker of indigenous languages, especially in the field of marriage which is increasingly rare to encounter. Of course, in Kapan, there is also a platform for creative economy or social entrepreneurship called Lakoat.Kujawas which is seeking to collect local potentials into a new force in the hope of being managed by community for common interest.
4.      Kote Fortress in Sebau, was one of the royal bastions in Mollo once upon a time. Currently, the ruins of the bastion and traditional houses are in preservation efforts by the next generation. Nearby the castle, there is a river flowing throughout the year, crystal clear water flowing from Mutis Mount towards the south beach. There are several points of camping on the riverbank that can be your choice to spend the night and enjoy the cool air of Mollo Valley.
Fatumnasi
For more information, you can contact us:
Telephone: 081338037075 (Dicky Senda)
Or see our profile on Instagram @lakoat.kujawas, Twitter @lakoatkujawas, blog www.lakoatkujawas.blogpspot.co.id and Page www.facebook.com/lakoat.kujawas

NB: Currently, lakoat.kujawas provides 2 bedrooms with a capacity of 2 people per room, and we are currently building two units of ume kbubu (traditional house of Dawan tribe) with a capacity of 3 people per ume kbubu in Taeftob Village. In the near future, lakoat.kujawas will also be integrated with other homestays run by residents in Taeftob Village and in other villages in the region of Mollo. The tariff per room is IDR 75,000/night, including breakfast. The price is not included lunch and dinner, public transportation (taxibikes or shuttle) to several location points and local tourist guide services.
the Hill in Netpala Village
How to reach Lakoat.Kujawas?
Our location in on Jalan Kampung Baru, No. 2, Taeftob Village, North Mollo, TTS, NTT.
From Kupang:
1.      Take Kupang - Kapan travel service. Depart from Kupang between 1-3 pm. It takes around 3 hours. Phone Number of Travel Service 081210999432 (Hendrik Travel). The tariff is IDR 50,000 / person (shuttle).
2.      Take busses from Kupang-SoE or Kupang-Kefa or Atambua-Kupang from Oesapa Kupang. Get off in Kapan branch. Bus fares IDR 30,000/ person. In  Kapan branch, take a taxibike to Ibu dan Anak Hospital, it costs IDR 5,000. Take yellow public transportation from the junction next to Ibu dan Anak Hospital Nonohonis, it costs 15,000/ person.
Mama Mina, the weaver, our parner di LKJWS
 How to reach Lopo Mutis homestay in Fatumnasi (if you want to go to Mount Mutis or Mutis forest) from Lakoat Kujawas:
. Use ojek, it costs IDR 35,000, or use public trasportation (kind of pick up car) it costs IDR 20,000. You can also rent a pick up, it costs IDR 200,000 for one way.  

Souvenirs from Mollo:
Lakoat.Kujawas produces lu'at organic chutney (original and beef liver), Mollo homemade coffee, jagung bose, and Mollo forest honey and sells woven fabric produced by weaver group of Noebesi. They can be ordered via Instagram @lakoat.kujawas.

Mollo typical woven fabric can also be found in Kapan traditional market (every Thursday), Fatumnasi traditional market (every Monday) and Tobu traditional market (every Saturday).

Translated by Yustin Liarian
Lakoat.Kujawas Homestay


Organic Mollo Coffee

Minggu, 11 September 2016

A Proud Atoin Meto

https://www.facebook.com/ThomasBenmetan
I was asked to write something about Timor based of my point view as an Atoin Meto who grew up in Timor Tengah Selatan, especially in Kapan, North Mollo. It is a very big pleasure of me to share about how proud  I am to be born as a Timorese. Many things to explain, but I will make it short why I and all the Timorese people should be proud for our homeland.
Firstly, I would talk about the land. Everything is still natural in Mollo, where you can easily breathe and feel the cold air without any doubt about how many poison that already filled your lungs. You may consider it as something exaggerate. But yeah, it’s true, even though it is still hard to find a good signal for your gadget, proper transportation and some other things that related to modern life.
Ume Kbubu
When I was a kid, I spent many time playing in the forest with friends. We made toys from what items that is available on us like newspaper, rubber band, trees, leaves, woods, can, bottle, rind and et cetera. And it was so amazing that I have ever experience that kind of childhood things. What I learn from my childhood is the importance of being connected with the nature. It taught us be more creative, to utilize everything around us for our own goods. 
The second thing is how I perceive Timorese people, which in Dawanese language we called “Atoin Meto.” Some people may consider that Timorese people are lazy, because when they woke up in the morning, the first thing that they do is sitting inside “Ume Kbubu” to warmth their body.  Yeah, true, but that is not what I want to talk about. The point is, Timorese people are very open with new things. Hundred years ago, many Chinese, Savunese, Bugis people, Muslims, Catholic, Rotenese and Flores people came to this island as merchants. Timorese people accepted them with an open hand and since that time they are peacefully living alongside one and another. Some of them married with Timorese, making families and having a good relation one and another without taking the diversity as a disaster. The proof of good assimilation and acculturation in Timor can be seen in Mollonese Monarchy where some of them are Chinese descent.
Want to know another example? Just come to Kapan, a small town in North Mollo during the time of Easter or Christmas celebration. You will see many Muslims (where most of them are Bugis descents from South Celebes) who participate in some of the celebration. They join the parade of Easter, they attend to many competition and blend with the atmosphere of Christmas or Easter. They celebrate it also without worrying to lose their faith.
Not only that.  You may consider to attend wedding party in Kapan. You will find that there will be a special dining table for Muslims, for they are prohibited to eat pork. The dining table for Muslims are served with dishes that contains halal food, which means that there will be no pork in their food. Isn’t amazing? Diversity proves peace.
Last but not least, the third thing that I want to share is I am so proud with the culture of Timorese people that is still preserve until this era. One of the Timorese philosophy is about how we regards the earth as like as we regards human body. It says that:
 “Nasi Fani on Nafus, Fatu Fani on Nuif, Afu Fani on Nesa, Oel Fani on Na’”
Which means: “The forest is our hair, the stone is our bone, the land is our flesh and the water is our blood.”  This philosophy proves how deep and how strong the relationship between human and Mother Nature. For Timorese people, earth is a mother, and they are her children. What they do is to protect their mother who is giving them life and provide everything that they need.   Timorese people respect the earth as like as they respect their body, and if one part of them is taken away, they are paralyzed. Nature and human cannot be separated. We life alongside, also depending on one and another.
Living in a small town called Kapan taught me to be someone with a strong will who is not easy to give up. My parents once told me to believe that it doesn’t matter where I came from, I have to prove that even I am from a small town that is lack on many things, I can stand as high as people who is living with prosperity. It motivates me to pursue my dream, yet I am not forgotten where I came from. Since high school I left my hometown, but I still remember what they said to me and what should I do for my hometown after I got the dream in my hand. Because wherever I go, I am still bringing my title as a Timorese, as an Atoin Meto who were born in a small town, near the river down the mountain. Mollo has taught me to dreams without limits. 
For those who has never been in Mollo, I do hope that my reflection could be a picture to you, to understand and to know more about Mollo. And for Atoin Meto who read this, be proud of who we are, and perceive everything in our motherland as a gift from God that we should responsible to keep it, to develop it while not leaving its roots. And do remember that“you can take a Timorese out of Timor, but you cannot take Timor out of a Timorese.”

Sincerely,



Thomas Benmetan


Kamis, 21 Juli 2016

Mimpi dari Mollo



Selamat datang di lakoat.kujawas, kawan

Setelah tinggal hampir 6 tahun di Kupang, beta akhirnya memutuskan untuk pulang kampung, kembali ke Kapan, sebuah kota kecamatan kecil di lereng pegunungan Mollo (gunung Mollo, Fatumnasi, hingga Mutis). Beta lahir di Kapan dan tinggal hingga SMP, selanjutnya sudah merantau ke Ende dan Jogja untuk sekolah dan kemudian tinggal dan bekerja di Kupang. Sungguh menyenangkan bisa berkarya di kota yang sedang bertumbuh seperti Kupang. Orang-orang mudanya begitu luar biasa energinya untuk berkumpul dan melakukan banyak kerja kolaboratif. Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Kelompok Solidaritas Giovanni Paolo II dan Kupang Bagarak adalah tiga komunitas besar di Kupang yang beta ikuti, belajar dan ikut berkembang bersama. Terakhir beta juga bergabung dengan Komunitas Film Kupang. Bukan seorang sutradara, beta cuma punya mimpi, paling tidak saat ini beta sudah mulai pede untuk mengadaptasikan cerpen-cerpen beta ke dalam medium skenario film secara otodidak tentu saja dengan bimbingan kawan-kawan seperti Abe Maia di KFK. 

Di Kupang beta tergolong pribadi 4L, lu lagi lu lagi (menurut om Gusti Brewon yang notabene 4L juga) artinya sejenis orang yang hampir ada di setiap komunitas dan event kreatif yang dibuat orang muda. Hahaha. Selain sebab aktualisasi diri yang rasanya setiap orang punya itu, besarnya energi beta, ya karena ingin belajar. Beta suka mengamati, mendengar kalau dibolehkan ikut berbicara dan berkarya dalam sebuah social movement wah dengan senang hati. Sebenanrya bukan juga melulu karena keinginan beta, sikap terbuka kawan-kawan di Kupang juga luar biasa justru yang membuat beta dan siapa saja yang terlibat di dalamnya akan merasa betah, ingin berkontribusi dan mau bekerja kolaborasi. Semangat kerja kolaborasi dan volunteerism beta rasa adalah kekuatan baru, modal sosial baru anak-anak muda Kupang. Kuncinya sebenarnya sederhana saja: buka diri, percaya diri, dan... temuilah simpul-simpul seperti om Gusti Brewon, Amanche Frank, Danny Wetangterah, Elen Bataona, Abe Maia, Mario F Lawi, Inda Wohangara, Noya Letuna, om Oddy Messakh, Marinuz Kevin, LSM seperti IRGSC dan Pikul, Gerry Pratama atau dokter Sahadewa. Ada banyak nama sebenarnya. Mereka adalah orang yang jaringannya lebih luas dan kuat ketimbang jaringan Telkomsel di NTT. Beta sungguh merasa beruntung bisa kenal dengan mereka. Ketemu mereka dijamin sonde akan dibikin PHP, laiknya Telkomsel kasih bonus Wifi dan 4G melimpah tapi sonde bisa pakai juga karena aksesnya belum ada. Bajingan kan? Oya, Elen sepertinya sedang jomblo. Kalau Abe, maybe yes, maybe no.

Ketika sudah ada di tahap atau posisi enak, rasanya kita perlu naik kelas, perlu suasana baru, tantangan baru. Dengan melihat potensi yang ada di kampung beta di desa Taeftob, rasanya beta harus pulang dan bikin sesuatu. Dari beberapa pengalaman misalnya mengikuti residensi di Bumi Pemuda Rahayu Jogja dan Asean Japan Residency di Kampung Muara, belajar dan berdiskusi dengan kawan-kawan di Katakerja atau Rumah Sanur, pernah juga berdiskusi dengan Jok pendiri Little Tokyo di Brisbane, melihat semangat berwirausaha dari kawan-kawan Sekolah Musa  dan Geng Motor Imut di Kupang hingga belajar langsung dari Opa Matheos Anin di lereng Fatumnasi beta kemudian terinspirasi untuk membuat Lakoat.Kujawas. Tentu saja ada banyak hal menarik beta temui ketika hampir 10 tahun aktif di media sosial seperti blog, Facebook atau Twitter lantas terhubung dengan begitu banyak orang hebat, kalian semua. Oke, ide ini harus beta wujudkan. Dimulai dari kampung beta sendiri, Desa Taeftob di Mollo, Timor Tengah Selatan. Tak disangkat, ketika berdiskusi dengan kawan-kawan di Kapan, ternyata mimpi kita sama. Mereka bahkan sudah lebih dulu memulainya. Bukankah ini kerja kolaborasi yang nyata? Di kampung seperti Mollo, bukan sonde mungkin apapun bisa terwujud. Kita toh sudah ada dalam pergaulan generasi Y, generasi internet.

Apa itu Lakoat.Kujawas? Beta membayangkan sejak beberapa tahun terakhir sebuah platform di dunia maya yang bisa menghubungkan siapa saja untuk bekerjasama dengan warga Taeftob, warga Mollo. Lakoat.Kujawas adalah semacam co-working space, antara sesama orang Mollo maupun dengan orang dari luar Mollo. Untuk mengawali ide ini, melihat juga dengan potensi SDM dan SDA yang ada, kami sengaja membatasi untuk berkaya di bidang pendidikan (literasi), ekonomi kreatif (ekowisata, homestay dan toko online produk-produk lokal) dan tentu saja sebuah ruang diskusi, apresiasi, workshop dan pementasan di jalan Kampung Baru, No. 2, Desa Taeftob Mollo Utara. Ini pekerjaan-pekerjaan jangka pendek dan menengah yang sudah mulai kami garap. Ke depan, Lakoat.Kujawas bisa menjadi pusat informasi dan riset mengenai sejarah, kesenian dan kebudayaan Mollo. Beta senang ketika ide ini beta kemas dalam sebuah proposal sederhana dan beta coba tawarkan ke beberapa kawan dan kerabat dekat, misalnya Romo Sipri Senda kakak beta, Sandra Frans dan Angel Nalle dari Forum SoE Peduli, Yustin Liarian dari Sumba, Thomas Benmetan,

om Danny Wetangterah dari Sekolah Musa yang kemudian ternyata diteruskan om DW ke om Oddy Mesakh, om Torry Kuswardono dan om Fritz Nggili. Sebuah jejaring yang beta juga om DW bisa bayangkan efeknya. Kita semua. Omong-omong terima kasih untuk koreksi, masukan, kritikan dan sebagainya terkait proyek social enterprise ini. Lengkap mengenai Lakota.Kujawas bisa dibaca di www.lakoatkujawas.blogspot.co.id atau sesekali mampirlah ke akun Instagram kami: @lakoar.kujawas. Sstt, ada bocoran nih, mulai bulan depan kalian sudah bisa membeli sambal lu’at dan biskuit asin khas Mollo di Instagram kami.

Beta sudah mulai mengumpulkan simpul-simpul penting di Kapan dan sekitarnya, beberapa pemuda gereja, perempuan penenun, guru, dan... membuka perpustakaan (dari bekas gudang) yang bisa diakses oleh siapa saja. Terima kasih Elen dan jaringan Buku Bagi NTT yang siap support buku-buku. Koleksi novel, buku cerpen dan puisi sih banyak. Masih kurang buku bacaan anak-anak dan buku terkait pertanian dan peternakan. Ruang ini diharapkan akan menjadi tempat bertemu, berdiskusi dan melakukan banyak hal kreatif. Putar film, pementasan juga sangat representatif. Punya ide apa yang bisa ditampilkan atau diimplementasikan di Mollo, mari sudah, saling support. Yang ingin jalan-jalan, menikmati pangan lokal (bisa beta masakin hehe), di rumah beta dan rumah warga lainnya siap menampung.

Mungkin hanya ini saja dulu kabar baik dari beta. Untuk diskusi lanjut bisa hubungi beta di 081 338 037 075 atau email: dickysenda@gmail.com. Btw, terima kasih untuk Gerald Louis Fori, yang sudah mendesain logo Lakoat.Kujawas ini. Diambil dari salah satu motif kain tenun Mollo, yang bermakna ruang sosial, ruang yang mempererat dan menghubungkan satu dengan lain. Mimpi dari Mollo.


Salam


Christian Dicky Senda

Senin, 04 Juli 2016

5+1 Things That You Need to Know About Mollo!

Matheos Anin, amaf dari Fatumnasi di dalam ume kbubu-nya
Matheos Anin, amaf  of Fatumnasi, in his Ume Kbubu

  1. Mollo is our sister. The people of Meto in the region of Timor Tengah Selatan regard Mollo as their sister, while Amanatun and Amanuban are the brothers. The girl lives on the mountain, while the boys live in the coastal area. Probably, it is also the reason why the name of Mollo is different from the typical names of areas in West Timor (especially in the region of Timor Tengah Selatan and the region of Kupang) which usually have “Ama/Am” in front, for example Amanuban, Amanatun, Amfoang, Amarasi, Ambeno, etc. For complete story of history and civilization of the people of Meto in Mollo, there are many Amaf or village elders that we can talk to. For instance, there is Matheos Anin in Fatumnasi and Petrus Almet in Lelobatan. From them, we can gather information about social structure of the people of Meto, starting from Usif (the king), amaf (the elders), Mafefa (the spokesman), to the lay people; we can also get information about traditional law, communal land, fairy tales, myths, and so on. It is an interesting experience to hear the people of Mollo talking in Dawan language or in Bahasa Indonesia because they have their own dialect. There is a beautiful rhythm which is interesting for the ears to listen to. As if they are singing the sentences. There is also a strong assimilation of culture in Mollo. The Chinese people have been living there for hundreds of years, blended in marital relationship with the people of Mollo and give births to new generations and culture. There also many people from Sabu and Bugis (South Celebes).
  2. Mollo is the complete mixture of the richness of nature and culture. As it is located in higher land, its natural landscape is also astonishing. The string of mountains from Mollo to Mutis shrouded by the forest of ampupu (Eucalyptus urophylla) one of the endemic plants in Timor. The trees of pine with pasture and cattle roam freely will remind you of villages in Europe. Mollo gives us a magical impression of its look during the rainy season and dry season. The tradition is also well-maintained. People who live in ume kbubu, the round houses of thatch grass, will welcome you with a warm smile, betel nut and sopi (local type of gin), of course if you want to drink. In that warm house, together with the hosts, you may eat jagung bose (corn cooked traditionally in Timor) and se’i (smoked meat), talking about gardens of garlic and the harvest season for the honey in the forest. There are many traditions and rituals that are well maintained, starting from opening new gardens, the planting time up to the harvest time. If you are lucky, you might be invited into the forest to do the harvest for honey. You may witness how the Meo, the hunter, persuading the bee regarded as Fetonai or grand lady with a poem so he will not get bitten. Timor offers a distinct impression that is probably different from Flores or Sumba. You might be one of the ones who wants to know about it personally.
  3. Mollo is the guardian of the environment. Since thousands of years, the ancestors of Mollo are already living in a noble task: to protect the forests and springs. Keeping the overall existing ecosystems. Because Mollo is the heart that pumps blood and energy throughout the body. There is a respect honored to the universe. There is concept of batu nama (fatukanaf) and air nama (oekanaf). The elements of the universe are characterized by place, by the spirit and ownership in accordance with the name of each clan. This sense of intimacy and ownership is the reason why the people of Mollo cannot escape from this noble task. Because the damage to one of the natural elements will also damage other elements. This intimacy gives birth to many fighters who fight against the mining and forests’ function shift. One who is known and recognized by the world is Mama Aleta Ba’un, the winner of the Goldman Prize.
  4. For culinary in Mollo, it is generally similar to other areas in Timor. Without much spices and rely more on the authenticity of the taste and texture of the food (except a few dishes that have been influenced by Chinese tradition). Jagung Bose or jagung katemak, is a type of food made of corn which is cooked along with several types of nuts, can also be mixed with pumpkins or the shoots. It is cooked without coconut milk. You can have that with the salted or even unsalted grilled or boiled meat. So if you have never eaten jagung bose and grilled meat with forest honey, you can get that in the kitchen of Timorese, the people of Mollo. Talking about culinary in Mollo which are influenced by the Chinese tradition, there are some processed meat or lard, for example babi oangke or salted biscuits. Sambal lu'at from Mollo is also typically special, because in a mountain area that has many kinds of mint or basil, for example onatlao, ut sipa, ut manu, etc, the taste of sambal lu’at can be very rich (also very good to have it along with the boiled pisang luang – a type of banana typical to Timor). Some people even add sliced ​​of bamboo shoots and beef liver. It is so delicious! If you visit the weekly market (every Thursday in Kapan, every Saturday in Tobu, and every Monday in Fatumnasi), you can also buy popcorn made of local corn strain, chips of pig skin (which is very good to have along with laru, a local alcoholic beverage made of fermented roomie palm). There are plenty of local organic fruits and vegetables that can be purchased and processed at people’s house.
  5. Looking at Mollo, it doesn’t mean that there is no problem there. Various issues, such as the mining issue and weather anomaly which affects farming, and also about the migrant workers, are today’s problem we face in Mollo. The access for education for the young people needs to be developed and encouraged. Another issue is about the tradition of storytelling which is now left behind and unfortunately has not been well-documented yet. It becomes a restlessness for activists of culture and literature. Similarly is the weaving activities for young people.

+1 Lakoat.Kujawas or #LKJWS.

In Mollo, there is a creative project created by the young people. Christian Dicky Senda, a young writer and activist, originally from Mollo, created a social enterprise concept involves local residents, along with his friends from various areas such as Kupang, Sumba, Jogjakarta and Melbourne, not only from Mollo. Lakoat.Kujawas taken from the names of two fruits that are planted and flourished in Mollo. Lakoat or loquat fruit was originally from Japan and kujawas is guava. By leveraging advances in internet technology, especially through social media, lakoat.kujawas is hoped to become a new platform that connects individuals to create collaborative working in Mollo, particularly in the arts, literacy, culture and environment areas. #LKJWS is a community that is open and connects citizens of Mollo with the people all over the world. #LKJWS pioneering a library in the village Taeftob, North Mollo, which can be accessed by anyone. #LKJWS will soon be selling handicrafts and food products typically from Mollo on Instagram, cooperate with the women weavers in Mollo. #LKJWS manage simple homestay at people’s houses. Come to stay and interact directly with the local people. Contact us through email at lakoat.kujawas@gmail.com or Whatsapp 081338037075, if you want to work collaboratively with people as well as wanting to learn about the culture Mollo. Come, we are waiting for you!

***

  1. Mollo adalah saudara perempuan kita. Orang Meto di kabupaten Timor Tengah Selatan menganggap Mollo adalah sang perempuan, sedangkan saudara lelakinya adalah Amanatun dan Amanuban. Perempuan di gunung, sedangkan lelakinya lebih dekat ke pesisir. Barangkali nama ini juga yang membedakan dengan nama wilayah lain di Timor Barat (terutama di kabupaten TTS dan Kabupaten Kupang) yang serba "Ama/Am", contohnya Amanuban, Amanatun, Amfoang, Amarasi, Ambeno dll. Untuk lebih jelas mengenai sejarah dan peradaban orang Meto di Mollo, ada banyak amaf atau tua adat yang bisa kita temui untuk mendapatkan informasi secara lengkap. Misalnya, di Fatumnasi ada bapa Matheos Anin. Atau bapa Petrus Almet di Lelobatan. Dari mereka, informasi mengenai struktur sosial orang Meto di Mollo dari tingkat paling tinggi yakni usif (raja), amaf, mafefa atau juru bicara, hingga kalangan rakyat biasa atau informasi mengenai hukum adat, tanah ulayat, dongeng, mitos dan seterusnya. Menarik sekali mendengar cara orang Mollo bertutur dalam bahasa Dawan atau Bahasa Indonesia, ada dialek yang khas. Ada semacam irama yang asyik di telinga. Seperti mendengar orang melagukan kalimatnya. Ada percampuran kebudayaan yang kental di Mollo. Orang-orang Cina sudah menetap ratusan tahun lamanya di Mollo, kawin mawin dan melahirkan generasi dan budaya baru yang tak kalah unik. Banyak juga orang Sabu dan Bugis di sana.
  2. Mollo adalah paduan komplit antara kekayaan alam dan budaya. Karena berada di dataran lebih tinggi, bentang alamnya lebih menakjubkan. Deretan gunung dari Mollo hingga Mutis yang diselimuti hutan ampupu (eucalyptus urophylla) salah satu tumbuhan endemik di Timor. Pepohon pinus dengan padang rumput dan sapi yang bebas berkeliaran akan mengingatkanmu pada desa-desa di Eropa. Mollo memberikan kesan ajaib bagi kita tentang rupanya di musim penghujan dan musim kemarau. Tradisi manusianya pun masih terjaga dengan baik. Masyarakat yang tinggal di ume kbubu, rumah bulat dari rumput ilalang akan menyambutmu dengan senyum hangat, sirih pinang dan tentu saja sopi, jika kau mau meminumnya. Di rumah yang hangat itu, kau bisa saja makan jagung bose dan daging se'i bersama tuan rumah, diajak bercerita tentang kebun bawang putih dan musim memanen madu di hutan. Ada banyak tradisi dan ritual terpelihara dengan baik, dimulai dari membuka kebun baru, menanam hingga musim panen. Jika beruntung kau bisa diajak masuk ke hutan untuk memanen madu. Melihat langsung sang meo, sang pemburu, merayu lebah yang dianggap sebagai Fetonai atau perempuan agung dengan puisi agar tidak digigit. Timor menawarkan kesan yang barangkali berbeda dengan Flores atau Sumba. Anda barangkali salah satu yang ingin mengetahuinya secara dekat.
  3. Mollo adalah penjaga lingkungan. Sejak ribuan tahun, nenek moyang orang Mollo sudah hidup dalam sebuah tugas mulia: menjaga hutan dan mata air. Menjaga keseluruhan ekosistem yang ada. Sebab Mollo adalah jantung yang memompa darah dan energi ke seluruh tubuh. Ada penghormatan kepada alam semesta. Ada konsep batu nama (fatukanaf) dan air nama (oekanaf). Elemen-elemen alam semesta dikarakteristikan, diberi tempat, diberi roh dan kepemilikan sesuai dengan nama setiap marga. Kedekatan dan rasa memiliki alam semesta inilah yang membuat orang Mollo tidak bisa lepas dari tugas mulianya. Sebab kerusakan satu elemen alam akan merusak pula elemen yang lain. Kedekatan ini melahirkan banyak jiwa-jiwa pejuang ketika tambang dan alihfungsi hutan masuk. Salah satu yang dikenal dan diakui dunia karena memperjuangkan kelestarian lingkungan adalah mama Aleta Ba’un, peraih Goldman Prize.
    Atoin Meto
  4. Kuliner Mollo umumnya sama dengan kuliner dari daerah Timor lainnya. Tanpa bumbu meriah, lebih mengandalkan keaslian rasa dan tekstur bahan makanan (kecuali beberapa masakan yang sudah mendapat pengaruh Cina). Jagung bose atau jagung katemak dimasak dengan berbagai jenis kacang, bisa juga dicampur buah dan pucuk labu. Dimasak tanpa santan. Pelengkapnya bisa daging bakar atau daging rebus dengan garam atau bahkan tanpa garam. Belum pernah makan jagung bose, daging bakar disiram madu hutan? Hal itu ada di dapur orang Timor, orang Mollo. Bicara kuliner yang berkembang di Mollo karena pengaruh Cina, ada beberapa olahan daging atau minyak babi, misalnya babi oangke atau biskuit asin. Sambal lu’at dari Mollo juga khas, karena di daerah pegunungan yang punya berbagai jenis daun mint atau kemangi, misalnya onatlao, ut sipa, ut manu, dsb, sehingga citarasa sambal lu’at dari Mollo pun akan sangat kaya di lidah (cocok sekali dinikmati dengan pisang luang rebus). Bahkan ada juga yang menambah irisan rebung dan hati sapi. Sedap sekali. Jika berkunjung pada hari pasar Mingguan (di Kapan setiap hari Kamis, Tobu setiap Sabtu atau Fatumnasi setiap Senin), kalian bisa membeli jagung bunga (pop corn) dari jagung galur lokal, keripik kulit babi (cocoknya ditemani laru, minuman beralkohol hasil farmentasi nira lontar). Ada banyak sayuran dan buah organik lokal yang bisa dibeli dan diolah di rumah warga.
  5. Melihat Mollo, tidak berarti tanpa masalah di sana. Isu lingkungan seperti tambang dan anomali cuaca yang berpengaruh pada pertanian warga serta isu pekerja migran adalah sebagian problem Mollo hari ini. Akses generasi muda pada pendidikan juga harus terus dibangun dan didorong. Tradisi bertutur yang belakangan makin ditinggalkan dan sayangnya belum terdokumentasi dengan baik adalah keresahan tersendiri bagi kalangan pegiat kebudayaan dan kesusastraan. Begitupula aktivitas menenun bagi kaum muda. 
+1. Lakoat.Kujawas atau #LKJWS. Di Mollo ada sebuah proyek kreatif yang baru saja digagas orang-orang mudanya. Christian Dicky Senda, seorang cerpenis dan aktivis muda asal Mollo mengagas konsep social enterprise ini melibatkan warga lokal bersama kawan-kawannya yang tersebar di berbagai daerah seperti Kupang, Sumba, Jogjakarta dan Melbourne, tidak hanya dari Mollo. Lakoat.Kujawas diambil dari nama dua buah yang tumbuh subur di Mollo. Lakoat atau loquat buah yang berasal dari Jepang dan kujawas (guava) atau jambu biji. Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi internet khususnya media sosial, lakoat.kujawas diharapkan menjadi sebuah platform baru yang menghubungkan setiap orang untuk membuat kerja kolaborasi di Mollo, khususnya dalam bidang kesenian, literasi, kebudayaan dan lingkungan. #LKJWS adalah sebuah komunitas yang terbuka dan menghubungkan warga Mollo dengan warga seluruh dunia. #LKJWS merintis perpustakaan di desa Taeftob, Mollo Utara, yang bisa diakses siapa saja. #LKJWS segera menjual produk kerajinan tangan dan makanan khas Mollo di Instagram, bekerjasama salah satunya dengan perempuan-perempuan penenun Mollo. #LKJWS mengelola homestay sederhana di rumah warga. Tinggalah dan berinteraksi langsung dengan warga lokal. Kontak kami di email lakoat.kujawas@gmail.com atau Whatsapp 081338037075, jika ingin melakukan kerja kolaborasi dengan warga sekaligus ingin belajar kebudayaan Mollo. Datang saja, kami menanti. 


NB: Foto-foto oleh  Valentino Luis, desain logo oleh Gerald Louis Fori.