We present a concept of social enterprise/social entrepreneurship based in Mollo, Timor and utilize the natural and cultural potential for economic improvement as well as the empowerment of local communities, particularly young people. Our focus includes literacy, art-culture and the creative economy. This project involves the youth community, village library as a center for arts and culture, homestay and creative economy. It is located in Jl. Kampung Baru, No. 2, Village of Taeftob, District of North Mollo, South Central Timor, East Nusa Tenggara, Indonesia 85552. Telp./Whatsapp 081338037075. E-mail: lakoat.kujawas@gmail.com.

Senin, 21 Maret 2022

Mengenal Konsep Warga Aktif A la Lakoat.Kujawas




Selamat datang di komunitas Lakoat.Kujawas. Sebuah inisiatif warga yang lahir tahun 2016 dari sekumpulan orang muda yang setelah pergi merantau menemukan bahwa kampung mereka tidak mengalami banyak perkembangan, bahkan cenderung stagnan. 

Adalah Dicky Senda yang bertemu dengan beberapa kawan di Dusun Flobamora, Forum SoE Peduli, Komunitas Blogger NTT dan Kupang Bagarak, dan merasa bahwa munculnya banyak gerakan orang muda di perkotaan di NTT pada dekade 2010an harusnya terjadi juga di wilayah pedesaan atau perkampungan. Memang fakta berkata demikian bahwa banyak orang muda usia produktif memilih untuk merantau ke kota. Sedikit yang merantau karena bersekolah, banyak yang merantau karena harus bekerja di usia muda belia. Pada saat itu isu putus sekolah, human trafficking dan malnutrisi sedang meningkat tajam di wilayah NTT, khususnya di Timor. 

Di sisi lain, pengalaman berkarya dan bekerja kolektif di perkotaan berhasil menumbuhkan rasa solidaritas sehingga tercipta jaringan yang kuat. Jaringan atau modal sosial yang pada akhirnya menjadi bensin bagi gerakan-gerakan swadaya dari orang muda hingga hari ini. 


Bagaimana bisa mewujudkan mimpi itu? 

Pulang ke kampung sendiri tentu akan terasa lebih mudah sebab tidak membutuhkan banyak waktu untuk mengenal orang-orang di kampung. Tantangan lain tentu ada. Nilai hidup masyarakat kita memang sudah banyak berubah. Sebagai wilayah yang kata kak Ben Laksana, kota tengah, mau dibilang kota dan modern banget juga tidak. Mau dibilang kampung tradisional yang kental dengan sistem adat juga tidak. Nilai yang dimaksud adalah soal gotong royong atau semangat kerelawanan. Kami merasa sulit membangun jaringan dan gerakan di awal sebab paradigma orang-orang di kampung, kalau ada kegiatan sosial seperti ini, yang mereka pikirkan adalah LSM dan bicara tentang LSM, berarti ada dananya. Ada uang!

Jika dulu orang kebanyakan bisa bekerja bersama bersihkan kebun dan menanam, saat ini polanya sudah bergeser, harus mampu bayar orang untuk bekerja di kebun. Uang memang menjadi prioritas dan kebutuhan utama, meninggalkan nilai kolektif a la masyarakat adat, a la masyarakat desa/kampung. 

"Kegiatan di Lakoat ada uang duduk tidak?"

"Berapa isi amplop pengganti transportasi kalau kita bergiat di Lakoat?"

"Dapat dana dari mana bisa bikin perpustakaan dan kegiatan literasi setiap akhir pekan?"

"Itu kakak-kakak yang mengajar bahasa Inggris dan kesenian digaji berapa sama Lakoat?"

"Masuk jadi anggota Lakoat.Kujawas bayar pendaftaran berapa? Ikut kelas Bahasa Inggris bayar berapa?"

Terlalu banyak pertanyaan yang datang ke kami di tahun awal berdiri. Kami berefleksi, kami berpikir keras. Mengapa masyarakat kita berubah menjadi sesgala sesuatu diukur dengan uang? Kami merantau dan tanpa sadar kampung kami sudah berubah begitu cepatnya. 

Memang sulit di tahun awal tapi ketika dijalani dengan serius dan penuh komitmen, selalu saja ketemu banyak orang baik yang mau membantu kami. Ternyata modal sosial itu sangat penting, membantu kami yang bergerak dengan modal semangat, punya kawan dan jaringan, punya pengalaman, uang mah nol hehe. 

Tapi di tahun pertama kami belajar bahwa anak bisa menjadi pintu masuk untuk menyentuh hati para orang tua. Setahun melangkah dengan tekun dan konsisten, kami bertemu orang-orang yang awalnya apatis, yang awalnya bertanya-tanya dan mengukur kami dengan segala materi. Mereka adalah orang tua dan para guru di sekolah yang kemudian memberi testimoni karena dengan sendiri melihat ada banyak perubahan pada diri anak-anak dan siswa mereka. 

"Anak yang berada di Lakoat berbeda dengan yang tidak bergabung di Lakoat," cerita mama Mety, orang tua pertama yang join di komunitas kami. Mereka jauh lebih percaya diri dan berani. Itu adalah kunci dasar untuk bertumbuh dan berkembang. Sikap, karakter dan cara membawa diri, cara berbicara, bagaimana hormat dan respek pada orang lain, ternyata terbentuk dengan begitu alamiah. Kok bisa? Di Lakoat, kami membiarkan setiap anak menjadi dirinya sendiri. Mereka boleh memilih dan berbicara apa saja tanpa harus takut salah, takut dicela, takut dimarahi. Di Lakoat, kami hanya membangun ruang bermain dan belajar, ruang setiap anak menjadi diri mereka sendiri. Mungkin yang membuatnya berbeda dan menarik hanya karena kami desain dengan gaya yang lebih santai. Lewat aktivitas menari, berpuisi, menulis, bermain, nonton, diskusi, main ke hutan, makan bersama, gitaran bersama, karaoke dan banyak lagi. 

Pada titik ini kami sadar bahwa anak bisa menjadi pintu masuk sekaligus kunci yang baik. Mereka membawa banyak perubahan bagi Lakoat dan orang tua, mereka menghubungkan komunikasi orang-orang dewasa yang cenderung kaku dan serius. Mereka mengajari kami bahwa bikin perubahan dan gerakan besar, bisa juga dilakukan dengan cara fun, bersama mereka anak-anak. 

Kami akhirnya sampai pada titik bahwa ekosistem yang mulai terbangun ini harus menempatkan anak sebagai titik tengah dari gerakan. Di sekeliling anak ada lapisan-lapisan: orang tua, keluarga, guru, sekolah, gereja, pemerintah desa, tokoh adat, perempuan penenun, petani, orang muda, dst. 

Di tahun pertama, kami sudah bisa menggandeng guru, sekolah dan gereja. Kami senang bertemu dengan pastor dan pendeta muda yang progresif. Kami bertemu guru dan orang tua yang antusias karena melihat sendiri banyak perubahan pada diri anak-anak mereka. Lantas bagaimana dengan pemerintah desa? Kami mengalami pasang surut hubungan yang lumayan panjang bahkan hingga beberapa bulan terakhir, ketika semuanya membaik karena salah satu kader dan aktivis dari komunitas kami terpilih menjadi kepala desa. 

Bersama sekolah kami punya semacam MoU untuk program kolaborasi komunitas dan sekolah. Pilot projectnya adalah menyelenggarakan kelas menulis kreatif yang terintegrasi dengan perpustakaan komunitas dan kelas ekstrakurikuler di sekolah. Kami bertemu tokoh adat dan beberapa orang tua yang rindu akan ruang-ruang seni budaya di kampung yang pernah ada di masa kecil atau masa muda mereka dulu. Ruang ketika segala lapisan umur dan gender bisa duduk setara untuk saling berbagi hal baik lewat acara kesenian dan ritual kampung. 

Kami akhirnya bersepakat untuk selain bergiat bersama anak-anak, kami memakai medium seni budaya untuk masuk dan menggandeng lebih banyak orang untuk bikin perubahan. Mengapa? Ya sederhana saja karena ruang seni budaya itu pernah eksis, bukan hal yang asing dalam memori kolektif warga. Dan itu pernah dianggap punya peran dan pengaruh dalam kehidupan mereka. Kami optimis. 

Memasuki tahun ke-6, ekosistem itu berhasil kami bangun. Ekosistem yang kami sebut, ekosistem warga aktif. Bahwa seluruh lapisan masyarakat di kampung, baik perempuan maupun laki-laki, tua maupun muda, anak dan remaja, semua punya kesempatan yang sama dan setara untuk mempelajari pengetahuan adat, pengetahuan lokal. Warga aktif artinya setiap kita punya peran penting untuk mendorong perubahan di kampung. Ibarat mesin, satu roda berputar akan mempengaruhi roda-roda lainnya. 

Ketika pandemi melanda, kami terputus hubungan dengan para relawan, seniman residensi atau tamu yang kerap mengikuti program heritage trail kami. Kami akhirnya menyelenggarakan model pendidikan adat, pendidikan kritis dan kontekstual, namanya Skol Tamolok. Melengkapi pendidikan formal yang didapat di bangku sekolah. 

Program ini semakin menegaskan posisi dan visi kami dalam gerakan warga aktif. Mengangkat semangat kolaborasi dan solidaritas, menggantikan individualisme kembali kepada kolektivisme yang sejak lama menjadi roh gerakan masyarakat adat. 

Kini kami fokus ke isu pangan lokal selain terus mengarsip pengetahuan adat. Pangan menjadi potensi dan kekuatan tanah dan manusia Mollo sejak lama. Pangan lokal harusnya bisa menjadi solusi dasar dan sentral bagi segala persoalan ekonomi, pendidikan, politik maupun sosial. Pangan lokal yang erat kaitannya dengan nilai dan semangat ekologi orang Mollo dalam berelasi  dengan alam dan merawatnya. Tentu bahwa ekologi juga menjadi isu penting hari ini ketika iklim berubah dan bencana terkait perubahan iklim itu juga menyentuh kita semua, termasuk yang tinggal di kampung. 

Sudah saatnya lewat konsep warga aktif ini, kesadaran dan nilai kolektif tentang keberlanjutan manusia dan sumber daya alam bisa terus tumbuh. Sumbernya tidak jauh, ada dan kuat di dalam pengetahuan adat kita. Kami yakin bahwa pengetahuan adat bisa menjadi solusi, daya resiliensi, daya adaptasi warga aktif di kampung. Minimal untuk menjawab tantangan lokal, problem di tingkat kampung. 

Untuk warga desa yang aktif dan mandiri, untuk kampung yang lebih baik, Kampung Katong.

#kampungkatong

1 komentar:

  1. Sangat menginspirasi. Semoga dapat terus berkembang. Terima kasih telah menuliskannya.

    BalasHapus