We present a concept of social enterprise/social entrepreneurship based in Mollo, Timor and utilize the natural and cultural potential for economic improvement as well as the empowerment of local communities, particularly young people. Our focus includes literacy, art-culture and the creative economy. This project involves the youth community, village library as a center for arts and culture, homestay and creative economy. It is located in Jl. Kampung Baru, No. 2, Village of Taeftob, District of North Mollo, South Central Timor, East Nusa Tenggara, Indonesia 85552. Telp./Whatsapp 081338037075. E-mail: lakoat.kujawas@gmail.com.

Rabu, 02 Maret 2022

Residensi

Marlinda Na'u/Mama Fun

    bersama Ria dan Alim dari Alor yang residensi di Lakoat.Kujawas sepanjang bulan Februari 2022

















Mengapa residensi itu perlu? Kalau menurut saya residensi itu sangat penting sekali untuk seseorang yang ingin bertumbuh untuk diri sendiri termasuk untuk kepentingan komunitas dan masyarakat luas. Residensi adalah satu proses belajar di mana kita akan menemukan banyak hal dan belajar di suatu tempat yang kita inginkan untuk menemukan hal baru dan juga teman baru. Banyak sekali proses yang akan kita pelajari, dari diskusi, belajar beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan orang lain hingga belajar melakukan sesuatu bersama pihak lain. Ada yang namanya kolaborasi. Ada semangat solidaritas di sana. Semangat untuk berjalan bersama, bertumbuh bersama. Ini nilai yang sebenarnya ada dalam masyarakat kita namun mulai hilang ketika semakin hari kita semakin menjadi pihak yang individualistis. 

gallery lorong, jogja, 2021

Bulan Oktober tahun 2021 saya terpilih mewakili komunitas Lakoat.Kujawas untuk melakukan residensi di Jogja selama 2 minggu. Komunitas Kami berkolaborasi dengan Biennale Jogja melakukan program residensi dan pertukaran seniman ini. 

Isu yang saya bawa adalah ketahanan pangan. Di Biennale Jogja saya tinggal di Gallery Lorong. Ada banyak sekali tempat yang saya kunjungi untuk belajar dan untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan. Salah satunya di Bakudapan. Saya melihat ada banyak sekali kesamaan di antara komunitas kami dan Bakudapan. Bakudan sendiri adalah sebuah kelompok studi yang mempelajari pangan alternatif. Sementara Lakoat.Kujawas lewat pendekatan seni dan budaya Mollo ingin mendalami, belajar dan mengarsip pengetahuan adat terkait pangan dan pertanian yang kami percaya masih relevan dengan situasi dan tantangan hari ini.

Saya juga berkunjung ke salah satu komunitas yang juga bergerak di isu pangan yaitu Sekolah Pagesangan di wilayah Gunung Kidul. Saya ketemu orang-orang muda desa Wintaos seperti kak Murniatun yang sudah belasan tahun terlibat bersama Sekolah Pagesangan.

Saya menyadari bahwa lewat komunitas, bagaimana caranya agar bisa mengajak banyak orang untuk terlibat dalam sebuah perubahan, terlebih bagaimana caranya bisa mengajak orang muda untuk ikut bergabung, beride, bekreativitas dan berinovasi. Di desa Wintaos saya diajak berkunjung ke lahan milik Sekolah Pagesangan. Melihat dari dekat isi kebun dan dapur, sistem pangan dan tradisi pertanian mereka. Sangat menarik dan menginspirasi. Ini semakin membuat saya percaya dengan apa yang saya lakukan di kampung. Saya senang punya jaringan dan kawan yang bekerja dari kampung dan mengupayakan pangan lokal tetap eksis. 

Di Sekolah Pagesanga saya juga menemukan satu persoalan yang sama yaitu tentang makanan lokal yang kalah bersaing di pasaran. Modernitas adalah tantangan bagi kita di kampung. Segala nilai modern yang masuk sayangnya dianggap sebagai nilai yang paling baik, oke, lebih tinggi derajatnya dari nilai yang ada di kampung. Kita sebenarnya sedang terjebak di sana. 

kawan-kawan baru selama di jogja

Menurut kak Murni salah satu manajer di Sekolah Pagesangan bahwa ketimpangan yang mereka hadapi adalah banyak sekali anak muda yang lebih suka pergi mencari pekerjaan di luar kota dibanding harus berdaya di kampung sendiri. Bahkan ada yang harus menjadi TKI di luar negri agar bisa mengimbangi tuntutan kehidupan di kota, nilai-nilai modern tadi. Ini persoalan yang sama yang kami hadapi juga di Mollo. Saya kira terjadi di semua pedesaan hari ini. Banyak yang berpikir bahwa kehidupan di kota lebih menjanjikan karena standar-standar modern tadi. Kelihatan menarik dan keren meski sebenarnya tidak sekeren dan semenarik itu. 

Banyak persoalan terjadi, misalnya human trafficking dan perbudakan modern. Padahal seharusnya kita tidak perlu pergi untuk jadi babu di negri orang atau di rumah orang. Karena hidup desa jauh lebih baik dari kota. Segala hal bisa terpenuhi di kampung: pangan organik, rumah sehat, dan pakaian, lingkungan yang asri, dan banyak hal baik lainnya. Di desa atau kampung kita berhak untuk memilih makanan lokal apa saja yang kita konsumsi hari ini. Makanan-makanan yang terjamin mutu dan kesehatannya. Kita bisa menanam apa yang mau kita tanam. Kita berhak atas hidup kita. Kita berdaulat atas tanah air kita.

***

bikin sambal lu'at di Jogja

Komunitas Lakoat.Kujawas tempat saya bergiat juga punya program residensi namanya Apinat-Aklahat sejak tahun 2017. Banyak seniman, peneliti, aktivis, dosen sudah datang residensi di tempat kami. Banyak ruang bertemu, bertukar pengalaman dan pengetahuan, diskusi dan sharing, lokakarya dan eksperimen kolaborasi. Beberapa hal menarik dari program residensi di komunitas kami yang saya perhatikan, antara lain, bahwa di tengah arus modernisasi yang semakit membuat manusia menjadi sangat individual, lewat program seperti ini mengajarkan kita bahwa ada nilai lain yang sangat penting bagi kita yakni semangat kerja kolaborasi, solidaritas dan gotong royong. Apa yang sering dibilang sebagai kolektivisme. Ini nilai yang sangat dekat dengan kerja komunitas dan masyarakat adat sebenarnya. 

Lewat program Kampung Katong yang sedang kami kerjakan bersama beberapa komunitas dan LSM antara lain RMI di Bogor, Simpasio Institute di Larantuka dan Kolektif Videoge di Labuan Bajo, didukung Voice Global, salah satu program untuk merevitalisasi kampung, mendukung kerja-kerja mandiri dengan semangat dekolonisasi, pengarsipan pengetahuan lokal dan model-model gerakan kritis dan kontekstual yakni residensi seni dan lingkungan. Residensi memungkinkan banyak titik simpul terhubung dan ada proses yang intens terjadi di sana. 

Saya berterima kasih sebab lewat proses residensi akhirnya saya bertemu dengan orang-orang dan komunitas yang punya nilai dan visi yang sama dengan saya dan komunitas saya. Ini akan semakin memperkuat lingkaran belajar kami yang berbaris desa. Berharap semakin banyak orang muda yang berani dan percaya diri untuk memulai kehidupan dari desa.




Marlinda Nau, atau biasa disapa mama Fun (dari nama panggilan anak sulungnya, Fun) adalah aktivis perempuan dan pegiat pangan lokal dari desa Taiftob yang bergiat di komunitas Lakoat.Kujawas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar