We present a concept of social enterprise/social entrepreneurship based in Mollo, Timor and utilize the natural and cultural potential for economic improvement as well as the empowerment of local communities, particularly young people. Our focus includes literacy, art-culture and the creative economy. This project involves the youth community, village library as a center for arts and culture, homestay and creative economy. It is located in Jl. Kampung Baru, No. 2, Village of Taeftob, District of North Mollo, South Central Timor, East Nusa Tenggara, Indonesia 85552. Telp./Whatsapp 081338037075. E-mail: lakoat.kujawas@gmail.com.

Rabu, 15 Juni 2016

Fantasi Fatumnasi

Copyright foto dan teks Valentino Luis, anakflores.blogspot.com

Ruangan bundar selebar enam meter dengan bumbungan mengerucut itu berwarna kelam. Perabot-perabot dari kayu bertumpuk sana sini tapi sulit dikenali satu per satu. Asap dari tungku apilah penyebabnya. Sudah puluhan tahun bubuk hitamnya menempeli semua benda. Maklum, hanya ada satu pintu dan satu jendela yang memungkinkan udara keluar masuk, itupun berukuran kecil. Namun alih-alih sendu, ruangan ini justru memancarkan aura perenial, ruh penghidupan nan mistis. Lihat saja, bagaimana kekuatan melodi seruling yang ditiupkan Mateos Anin menggiring lusinan burung Merpati terbang mengebaskan sayap melintasi cahaya matahari yang remang, kemudian kawanan anjing melangkah pelan seraya mengebaskan ekornya riang. Hewan-hewan ini datang berkerumun di kaki Mateos. 

Dalam sekejab saya merasakan daya magnetis, menghubungkan apa yang saya lihat sekarang dengan legenda Der Rattenfänger, Sang Peniup Seruling dari Hameln, Jerman. Tapi tidak, yang ini bukan legenda. Ini nyata.


“Suku kami, Anin Fuka, bersahabat dengan binatang. Malah jika memungkinkan, rumah ini menjadi tempat naung bagi segala jenis hewan,” pria tua bersorban merah itu bertutur khidmat. Mateos adalah generasi ke sebelas dari suku Anin Fuka, klan asli kampung Fatumnasi, sekaligus juru kunci Gunung Mutis, Timor. Ia menyambut kedatangan saya dan teman perjalananku Dicky Senda, senja kemarin seusai kami membenamkan diri di kolam Oehala, air terjun bertingkat enam. 

Air terjun Oehala. Bertingkat enam, foto diambil di tengah-tengah, masih ada tingkatan di bawahnya

Menjelang sunset di Bukit Tunua

Fatumnasi berada di ketinggian lebih dari 1000 meter dpl, tepat di pintu masuk menuju Gunung Mutis, gunung tertinggi di Timor. Saya sudah lama mendengar tentang gunung ini tapi tidak menduga bahwa di kakinya terbentang alam seindah yang pernah saya lihat di Swiss ataupun Austria. Dalam buku panduan para pelancong Lonely Planet Faumnasi dideskripsikan memiliki ‘spectacular alpine scenery.’

Dengan suhu sejuk dan tanah basah sepanjang tahun, rerumputan di lereng-lereng bukit Fatumnasi tidak pernah setinggi mata kaki serta selalu hijau bak taman golf. Berlekuk-lekuk molek diisi pohon Cemara, Kayu Putih, Ampupu, juga kelompok pohon yang hanya ada di kawasan itu saja. Setiap satu kelokan baru bakal menghidangkan pemandangan baru juga. 

Panen murbei! Bikin betah di kebun

Kembang Gladiol dimana-mana, tumbuh dengan liar

Kuda kembar yang masih belia
Kawanan sapi serta kuda merumput dan berlarian tanpa tali kekang, bebas lepas. Kembang-kembang Gladiol liar bermekaran dimana-mana. Batas antar ladang petani dipagari lintangan kayu-kayu tersusun apik. Saya tak bisa menghitung berapa kali sudah saya berhenti untuk memotret, hingga akhirnya diam tersihir oleh terbenamnya Matahari nan gemilang di bukit Tunoa.

Siapa sangka, Timor yang kerap diidentikkan dengan kering tandus itu menyimpan tempat gema ripa laiknya Eden, taman perdana manusia. Dalam bertualang, acapkali kita mengikuti pola yang telah tergeneralisir, manut pada pedoman perjalanan yang direpetisi terus menerus sehingga kemudian menjadi semacam citra klise mengenai sebuah daerah. Timor, sebagaimana kepulauan lain di Nusa Tenggara Timur (NTT) memang cenderung kering dan mendapat timpaan matahari yang lebih lama. Tapi, bagaimana wajah Timor ketika musim basah, ya seperti tampilan Fatumnasi di bulan Februari hingga Mei ini. Bersiaplah tercengang!

Gerombolan Sapi melintasi jalan

Kuda-kuda merumput dengan bebas

Surga Yang Nyaris Dihancurkan
Yang amat kentara terlihat di Fatumnasi adalah terjaganya alam serta budaya mereka. Warga memanfaatkan sumber daya alam secara seimbang, apalagi mereka terikat oleh peraturan adat yang mengutamakan keselarasan dengan alam. Meskipun sederhana, tapi mereka dapat dibilang tidak mengalami kekurangan kebutuhan hidup. Tanaman serta ternak berkembang dengan baik.

Sebagai bagian dari kawasan Gunung Mutis, Fatumnasi kaya akan flora khas dataran tinggi, tapi uniknya pepohonan disini tumbuh dengan bentuk yang aneh. Contohnya, terdapat area bonsai dimana pohon-pohon Ampupu mengerdil dan dibaluti oleh lumut serta tanaman paku mini. Formasi batang-batangnya amat memikat. Jika datang saat kabut, serasa berada di dunia fantasi. Sedangkan hewan-hewan disini merupakan hewan endemik, misalnya Rusa Timor (Cervus timorensis), Punai Timor (Treon psittacea), Betet Timor (Apromictus jonguilaceus), dan Pergam Timor (Ducula cineracea.

Hutan Bonsai dengan pohon-pohon nan surealis

Terlepas dari panorama serta flora fauna, tanah di Fatumnasi ternyata juga menyimpan kandungan marmer berlimpah, bahkan termasuk yang terbaik di dunia. Orang awam mungkin mengira bukit-bukit batu yang bertebaran di Fatumnasi tiada bedanya dengan gelondongan batu granit, padahal mereka adalah batu marmer. Hanya saja formasi batunya terlihat seperti batuan granit raksasa. Fakta tentang marmer ini kemudian mengundang investor untuk mengeksploitasi bukit-bukit Fatumnasi, termasuk perusahaan Korea. Penambangan dibuka, dan penghancuran alam terjadi. Efek dari ekploitasi ini akhirnya dirasakan warga beberapa tahun kemudian, ditandai oleh keringnya sejumlah sumber air.

Penduduk yang cepat sadar lantas melakukan serangkaian aksi penolakan tambang tersebut. Salah satu tokoh yang terkenal adalah Mama Aleta Baun (2013 Goldman Environmental Prize Winner), perempuan lokal yang gigih berjuang menyuarakan keadaan alam mereka. Syukurlah, awal tahun 2000-an suara warga didengar dan tambang-tambang pun enyah dari surga Fatumnasi.

Mendatangi Benteng & Danau
Saya dan Dicky bermalam di rumah kakek Mateos Anin. Ini satu-satunya penginapan di Fatumnasi, direkomendasikan semua orang, dan tempatnya sangat menyenangkan. Ada tiga rumah tradisional disebut Ume Khubu, seperti butiran telur, dibuat di halaman belakang untuk inap tamu. Lopo-lopo macam ini menjadi ciri khas kampung Fatumnasi. Karena ukurannya yang kecil, suhu ruangnya jadi hangat, cocok sekali dengan iklim pegunungan yang senantiasa dingin.

Ume Khubu

Kami mendapat banyak cerita tentang sejarah leluhur suku Anin Fuka beserta ritual-ritual adat. Makanan tersaji dengan keramahan yang tulus, lalu dihibur oleh permainan gambus (yang lucunya, mereka sebut itu Biola). Saya selalu terkesima oleh suasana yang magis lantaran burung-burung Merpati yang terus terbang keluar masuk rumah menembus pancaran matahari.

Gunung Mutis

Keesokannya, kami disarankan untuk masuk ke hutan lindung Gunung Mutis. Dua cucu kakek  Mateos menemani. Yang kecil, Justin, masih berumur empat tahun, tapi memaksa untuk ikut, padahal kami akan mendaki ke bukit batu yang terjal. Bukit batu tersebut dinamai Benteng, dan dipercaya menjadi tempat mula-mula leluhur suku Anin Fuka bermukim. Justin yang kecil itu akhirnya minta digendong saat tiba di kaki bukit batu.

Cuaca yang cerah memberi kami kesempatan untuk menatap puncak Gunung Mutis dan panorama sekitarnya dengan jelas. Menurut cucu kakek Mateos, kami beruntung, sebab jarang sekali orang bisa memperoleh pemandangan sempurna bila naik ke Benteng. Saya dan Dicky memahaminya sebagai restu alam.

Fatumnasi memang bagaikan potongan alam pegunungan Eropa yang terlempar di Timor. Kami juga mendatangi danau kecil Fatukoto dan saya tak bisa berhenti memuji manakala warna-warna senja mengambang di atas danau tersebut. Seandainya boleh menarik waktu, ingin rasanya tinggal lebih lama di Fatumnasi dan hanyut dalam fantasi alamnya. 

Rembang senja di Danau Fatukoto


Tenun Timor Berwarna Cerah

GETTING THERE
Penerbangan dari kota-kota besar Indonesia ke Kupang dilayani oleh Garuda Indonesia, Lion Air, Batik Air, Sriwijaya Air, Susi Air, Nam Air, dan TransNusa.
Kemudian lanjut berkendaraan ke Fatumnasi, dengan transit di kota Soe. Lebih hemat dan lebih asyik menyewa sepeda motor lalu mengemudikan sendiri, dengan harga Rp.70.000 – 100.000/hari. Kondisi jalan dari Kupang ke Soe sangat baik dan tidak ramai, namun jalan dari Soe ke Fatumnasi masih darurat - tapi ini adalah petualangan, bukan?

SOUVENIR
Kain tenun dari Timor terkenal memiliki warna-warna mencolok dengan motif etnik kotak-kotak. Orang menyebutnya Tenun Buna. Membelinya langsung dari tangan penenun lebih memberi cerita personal ketimbang di pasar. Harga tenun berkisar Rp.50.000 hingga Rp. 1 juta tergantung ukuran kain dan kerumitan motif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar