We present a concept of social enterprise/social entrepreneurship based in Mollo, Timor and utilize the natural and cultural potential for economic improvement as well as the empowerment of local communities, particularly young people. Our focus includes literacy, art-culture and the creative economy. This project involves the youth community, village library as a center for arts and culture, homestay and creative economy. It is located in Jl. Kampung Baru, No. 2, Village of Taeftob, District of North Mollo, South Central Timor, East Nusa Tenggara, Indonesia 85552. Telp./Whatsapp 081338037075. E-mail: lakoat.kujawas@gmail.com.

Selasa, 03 September 2024

Kaka Boss, Ini "Timur" yang Mana Dolo?

Opini oleh Dicky Senda



Beta nonton Kaka Boss di hari perdana di Kupang, sekembalinya dari tugas ke Sorong. Ekspektasi beta mungkin ketinggian karena film ini diisi banyak sekali komedian papan atas, tapi masih bisa dipahami ju karena dramanya yang ingin ditonjolkan sama kuatnya. Beta bisa ikut ketawa dan sedih di beberapa momen, tapi ada ju rasa garing dan kebingungan. Entahlah.


Beta terkesan dengan akting Glory Hillary dan Mo’at Godfred (beliau orang Maumere, kan? Beta bisa menebak dari logatnya, kentara soalnya). Drama relasi bapak dan anak perempuan yang realistis dan manis. Tokoh komedi yang bikin beta cukup puas ketawa adalah karakternya Mamat Alkatiri. Gelagatnya selalu bikin pecah studio. Karakter lainnya, beta rasa serba tanggung. Barangkali ini soal representasi cerita dan karakter?

 

Beta apresiasi upaya representasi cerita dan karakter yang belum umum di industri film Indonesia. Tapi kalo sonde hati-hati beta khawatir ke depan orang akan banyak salah kaprah. Bawa narasi “Indonesia Timur” dan “Orang Timur” mungkin ju dianggap mulia, tapi jang sampe itu menyederhanakan kompleksitas identitas, sejarah, budaya, geografis, logat, dst. Di tempat yang disebut “Timur” ini, beda kampung bisa beda bahasa, dialek, warna kulit, na kaka! Makanya ketika Arie Kriting main sebagai akamsi di film Aisyah Biarkan Kami Bersaudara (2016) berlatar Timor Barat tapi dia balogat agak Papua, beta termasuk yang protes kala itu. Orang Kupang, Soe, Kefa, Atambua sa logat su beda-beda. Ini baru persoalan logat, belum warna kulit dan seterusnya. 

 

Perspektif orang-orang industri film di Jakarta yang harus diluruskan. Jang bersembunyi di balik narasi “Orang Timur” lalu katong malas riset dan main pukul rata saja. Itu bisa stereotipikal! Niat baik representasi kemudian bisa menihilkan keragaman identitas atau menimbulkan label baru karena disamaratakan oleh sebutan “Orang Timur”.

 

Mungkin soal yang bikin beta bingung atau merasa garing  dan tanggung ada di situ. Sebab mayoritas pemainnya datang dari berbagai latar budaya di “Timur” yang kompleks. Kalau saja sejak awal narasinya jelas, misalkan, Kaka Boss digambarkan sebagai orang Maumere merantau ke Jakarta, sukses. Ketemu Mace dari Merauke, menikah dan punya anak perempuan yang sangat Jakarta, dst. Karakter Priska yang nyeblak khas orang Ende jadinya sonde all out. Karena mungkin ju Priska (dan juga Nowela yang kelihatan kaku) bingung mereka mau menjadikan karakter “orang timurnya” kek mana? Priska mau kek biasa dirinya di panggung stand up sebagai orang Ende atau kermana nih? Sementara karakter “Orang Timur” juga terlampau absurd dan umum. Menurut beta karakternya  bisa digali lebih dalam dan spesifik dengan mempertimbangkan detail-detail karakter manusia “Timur” yang sangat beragam dan kompleks itu.

 

Timur yang mana nih?

Ada yang menarik, terkait cara pandang. Kawan-kawan yang beta temui di Raja Ampat memahami “Timur”, ya, Timor yang katong kenal. Orang dari Timor yang datang bekerja di sana. Bagi mereka, orang Timur, ya, berbeda dengan orang Flores, orang Ambon, dll.

Sehingga bisa jadi konsep “Orang Timur” yang mau ditawarkan Arie dkk atau industri film Jakarta sonde relate dengan persepsi sebagian dari katong.

 

Di TikTok pernah ada video tradisi orang cium idung, trus dikasih keterangan “NTT nih boss!” Lalu di kolom komentar orang-orang dari Flores pada nyaut, “NTT yang mana? Kami di Flores tidak punya tradisi itu. Orang Sumba dan Sabu mungkin iya.” Yang posting video itu orang Kupang, btw.

 

Sikap dan Posisi

Stance yang su cukup jelas beta rasa adalah film-film Makassar. Sonde perlu embel-embel narasi “Film Indonesia Timur”, semua latar identitas, geografis, budaya, dialek, dst tergambar jelas di situ. Unik dan kuat, sonde melebar ke mana-mana. Apalai sineas dan pemainnya dari Makassar. Atau film berlatar Batak yang sonde perlu dikasih embel-embel Indonesia Barat. Yang terakhir beta nonton, Women from Rote Island ju jelas sikap dan posisinya: konflik batin perempuan-perempuan Rote. Jadi kalo bilang film tentang “Orang Timur”, hmm... Timur yang mana dulu nih? Beragam dan luas, soalnya. Berharap sa narasi begini sonde dipake hanya untuk kebutuhan industri dan pasar e (maksud beta framing untuk kebutuhan promosi, dsb). 

 

Btw, selamat untuk debut penulisan dan penyutradaraanya, Arie Kriting!



Dicky Senda adalah pegiat pangan dan komunitas adat di Mollo yang bergiat di komunitas Lakoat.Kujawas sebuah ruang warga yang mengintegrasikan perpustakaan, lab pangan, ruang arsip seni budaya, kelas menulis kreatif, tur gastronomi dan residensi kesenian. Komunitas ini ada di desa Taiftob di pegunungan Mollo di Timor Tengah Selatan. Dicky menulus buku kumpulan cerpen Kanuku Leon, Hau Kamelin & Tuan Kamlasi, dan Sai Rai yang semuanya berlatar budaya dan manusia Timor. 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar