We present a concept of social enterprise/social entrepreneurship based in Mollo, Timor and utilize the natural and cultural potential for economic improvement as well as the empowerment of local communities, particularly young people. Our focus includes literacy, art-culture and the creative economy. This project involves the youth community, village library as a center for arts and culture, homestay and creative economy. It is located in Jl. Kampung Baru, No. 2, Village of Taeftob, District of North Mollo, South Central Timor, East Nusa Tenggara, Indonesia 85552. Telp./Whatsapp 081338037075. E-mail: lakoat.kujawas@gmail.com.

Minggu, 17 September 2023

Surat-Surat dari Mollo - Festival Kampung Katong 5-7 Oktober 2023

Pameran Arsip Festival Kampung Katong

Kalobaorasi Kolektif Videoge (Labuan Bajo), SimpaSio Institute (Larantuka) dan Komunitas Lakoat.Kujawas (Mollo), didukung RMI (Bogor) dan Voice Indonesia. 


Sajak Surat dan Gambar

Konsep: terinspirasi dari bendera suku-suku bangsa aborigin di Australia

Bahan: kain chiffon


  1. Poster kain Surat-Surat dari Mollo


Surat-Surat dari Mollo adalah sekumpulan narasi yang mempertemukan sastra, ekologi, gastronomi dan arsitektur di desa Taiftob, Mollo, di Timor Tengah Selatan. Surat-Surat dari Mollo memberi cara pandang baru generasi muda Mollo hari ini melihat kampung halaman beserta potensi dan tantangannya. 

Karya ini dikerjakan selama 2 tahun lewat proses riset partisipatif, sekolah budaya Skol Tamolok, eksperimen di food lab Ume Fatumfaun dan sejumlah lokakarya di kelas menulis kreatif Li’an Kuan. 

Ide desainnya adalah surat, semacam surat cinta atau curhat bahkan protes kita untuk sesuatu yang sudah, sedang dan akan terjadi di kampung halaman kita. 


  1. Poster kain berisi penggalan-penggalan surat

Ini adalah cara kecil generasi Mollo hari ini belajar melihat kembali realita perjuangan generasi-generasi sebelumnya dalam mempertahankan identitas dan tanah airnya.

Kami mengundang para mama pejuang lingkungan dari beberapa desa di Mollo yang pada dekade 2000-an terlibat dalam aksi tolak tambang marmer di Mollo. Selama 3 bulan mereka meninggalkan rumah dan keluarga, kebun dan ternak untuk turun berjuang ke kantor-kantor pemerintahan daerah. Mereka berjuang lewat jalan kebudayaan--menghidupkan narasi tenun adalah salah satunya. Hal yang kami rasa masih akan terus relevan hingga kapan pun yakni dengan terus menggaungkan narasi sejarah dan budaya orang Mollo sebagai cara untuk membangun kesadaran, cara untuk melawan dan bertahan. 


  1. Poster kain Tapun Ma Tatef. 

Dalam perjalanan riset dan kerja-kerja pengarsipan pengetahuan lokal, kami menemukan beberapa semangat yang mengikat kolektif warga, semangat yang membuat orang bergotong-royong untuk melakukan sesuatu. Kami rasa inilah ciri khas masyarakat adat: semangat solidaritas, kerja kolektif, gotong royong, manekat. 

Tapun Ma Tatef artinya melingkar dan tidak putus. Semangat ini bisa tergambar dari ekosistem dan ruang hidup orang-orang Mollo yang saling terhubung dengan sesama manusia, margasatwa/hewan, leluhur, tanah, mata air, hutan, tanaman dan benda-benda langit.

Misalnya, pola pemukiman yang melingkari batu, rumah adat dan mata air. Bentuk rumah (uem bubu) yang bulat. Aktivitas menari bonet yang melingkar. Aktivitas panen yang melingkari kebun. Membicarakan kearifan lokal dan hukum adat yang juga melingkari tungku dan altar pemujaan. 

Ekosistem ini kami gambarkan lewat beberapa wujud marga (malak), tiang pemujaan, hewan-hewan, simbol mata air, dst. 


  1. Siapa Orang Mollo Itu? (gambar: orang berkuda dekat situs batu Nausus dan foto dua bapak yang berdiri dan bertolak belakang)


Orang Mollo adalah bagian dari etnis Atoin Meto, salah satu etnis besar yang mendiami pulau Timor bagian barat. Orang Mollo tinggal di pegunungan, di sekitar gunung Mutis, gunung tertinggi di Timor Barat. 

Ada beberapa hal menarik tentang orang Mollo:

- Marga orang Mollo sangat terkait dengan batu, air, hutan dan tanaman. 

- Ada dongeng atau cerita rakyat yang berkembang bahwa nenek moyang kami adalah batu-batu yang berjalan dari arah timur menuju ke barat, termasuk batu Nausus di belakang gambar orang berkuda ini. Batu yang sempat ditambang dan mendapat perlawanan warga karena batu ini milik beberapa marga. 

- Wilayah Mollo mulai diduduki Belanda sekitar tahun 1910 (35 tahun sebelum Indonesia merdeka). Kolonialisme datang dan membangun jalan raya, memindahkan penduduk yang tadinya tinggal melingkari hutan, mata air dan batu, berpindah ke sepanjang ruas jalan yang dibangun Belanda, supaya mudah dikontrol. Di masa kolonial, banyak rumah adat di bakar, orang-orang dibaptis dan mulai meninggalkan praktik hidup dan pengetahuan yang dekat dengan alam dan leluhur berganti ke tatacara hidup sebagai orang Kristen. Puncaknya di masa Orde Baru, masyarakat adat Mollo harus memilih 1 dari 5 negara yang diakui negara, harus berbahasa Indonesia, harus makan nasi dan punya rumah tembok biar sejahtera, dst. 


  1. Perempuan Mollo (gambar mama di pasar dan gambar mama lodia pejuang lingkungan).


Peradaban orang Mollo adalah tentang tugas merawat, memangku, melindungi dan menyusui baik manusia maupun alam semesta, yang semuanya adalah sifat-sifat feminin, dekat dengan posisi dan peran perempuan. 

Ada banyak istilah untuk melukiskan itu. Misalnya, Feotnai dan Bife Ainaf. Keduanya berarti perempuan besar/agung dan ibu. Secara politik dan kebudayaan, keduanya memiliki peran besar dalam kepemimpinan dan tata kelola. Dari urusan adat, ulayat dan sosial kemasyarakatan hingga manajemen pangan di lumbung ditangani langsung oleh Feotnai dan Bife Ainaf. 

Maka ketika alam dan kebudayaan Mollo diganggu, para perempuan Mollo yang akan berdiri di barisan depan perlawanan. Ratusan perempuan Mollo pernah memimpin demo tolak tambang di kantor bupati atau melawan dengan cara menenun di lokasi tambang sebagai bentuk protes karena alam dirusak. 

Ini adalah mama Lodia, salah satu dari ratusan mama yang tahun 2006 turun ke lokasi tambang selama berbulan-bulan, berhadapan langsung dengan aparat dan preman bayaran. Mereka mengalami banyak trauma dan kekerasan. Mereka berkorban untuk alam yang lestari, untuk kehidupan kita semua. 


  1. Tato dan Relasi dengan Alam (gambar tangan perempuan bertato). 

Selain menenun untuk menuliskan pemikiran tentang ekologi, batas tanah, identitas marga, narasi tentang mata air, leluhur dst, orang Mollo juga menulis narasi-narasi itu di tubuh mereka lewat seni tato. Orang Mollo sadar, sebagai masyarakat bertutur, ingatan mereka pendek, namun dengan menenun dan tato, mereka bisa memperpanjang ingatan tentang identitas mereka. 

Tato dalam gambar adalah motif kabiti, atau kalajengking. Narasi tentang kabiti juga muncul dalam motif kain tenun orang-orang di Sbot, salah satu kampung di Mollo. Kami menemukan narasi menarik tentang kabiti/kalajengking yang menyimbolkan tanah. Sebagaimana kalajengking hidup di tanah, narasi tentang kabiti adalah kesadaran akan akan ruang hidup, tanah ulayat, batas tanah dan warisan. Ia juga bicara tentang roh/penguasa tanah--uis pah dan para leluhur yang telah berpulang. 


  1. Ritual panen jagung (gambar: budayawan sedang memimpin ritual panen jagung). 

saat musim panen jagung orang Mollo biasanya akan melakukan sebuah ritual penting. Pemimpin ritual akan masuk ke titik tengah kebun, memilih satu dua rumpun jagung terbaik lalu mengikatnya menjadi satu. Tutur adat akan dilakukan, semacam doa syukur kepada leluhur dan penguasa tanah (uis pah) yang sudah memberkati dan melindungi tanaman pangan hingga masuk masa panen. Uang koin akan disisipkan di tengah ikatan sebelum tutur adat dilakukan. Setelah proses tutur selesai, jagung bisa dipanen dimulai dari lingkar terluar kebun menuju ke titik tengah. Jagung yang diikat di bagian tengah kebun akan dipanen terakhir dan akan menjadi semacam roh bagi seluruh jagung. Ia akan disimpan di bagian tertentu di dalam lumbung/rumah adat. Dulu, jagung yang dipanen tidak dibuang sembarangan, melainkan disimpan dengan sangat baik di dalam bakul dan wadah sejenisnya. 


8. Kekayaan sumber karbohidrat selain nasi. (gambar: aneka ubi-ubi hutan dan aneka jenis jagung lokal). 


Salah satu yang unik dan menarik dari kebudayaan pangan orang-orang Mollo adalah kesadaran merespons musim dan kekayaan biodiversitas (kekayaan hasil alam). Meski pulau timor itu dikenal sebagai pulau kering (meto), tempat manusia dari tanah kering (atoin meto) tinggal, namun alam menyediakan begitu banyak sumber pangan yang cocok dengan wilayah kering. Sebut saja jagung, sorghum, umbi dan kacang. 

Bicara tentang makanan dan musim, juga sangat menarik. Tiap bulan kalau kita melihat ke pasar-pasar tradisional di Mollo atau ke dapur-dapur warga, apa yang disantap dan disajikan di meja makan selalu merespons musim. dan itu selalu berbeda-beda. Artinya bahwa sejatinya tanah kita kaya dan sangat beragam sumber pangannya. Namun jika kita hanya perkecil ke standar sejahtera kalau makan nasi, ya, sampai kapan pun Mollo akan selalu masuk dalam kategori miskin sebab tanaman pangan orang Mollo adalah umbi, kacang, biji-bijian dan jagung. 


9. Hutan sebagai sumber pangan (gambar jamur hutan, rebung dan sayuran musim kemarau - pucuk beringin dan kacang koto). 


Selain berkebun, orang Mollo merawat dan menjaga hutan sebab di sanalah sumber pangan tersedia. Namun ketika akses ke hutan adat/ulayat berpindah status menjadi hutan lindung, hutan negara yang dikelola kementerian kehutanan, akses dan budaya mengambil makanan ke hutan semakin berkurang bahkan hilang. Relasi manusia Mollo dengan hutan pun hilang. 

Dalam riset kecil, kami menemukan bagaimana relasi antara hutan, keragaman bahan pangan dan bahasa orang Mollo. Bagaimana banyak kosakata, frasa, idiom, terkait dengan isi hutan dan tanaman pangan. Ketika akses ke hutan hilang, ketika kebiasaan makan makanan dari hutan hilang, ketika budaya menanam benih-benih lokal hilang sebenarnya kita sedang kehilangan banyak kosakata dalam bahasa. 

Hari ini makana kita semakin seragam. Kita tidak lagi mengenal aneka sayur musiman dari hutan melainkan hanya mengenal sayuran yang seragam (kangkung, bayam, sawi) yang tumbuh sepanjang tahun. 





II.  Meja Arsip dan Workshop



Konsep: terinspirasi dari meja diskusi di kelas menulis maupun skol tamolok-sekolah budaya di komunitas lakoat.kujawas, sebagai ruang pertukaran ide dan pengetahuan. Arsip-arsip ditaruh di atas piring-piring makan sebagai simbol bahwa arsip penting bagi kehidupan seperti halnya makanan. Meja makanan sebagai tempat menaruh makanan sekaligus menaruh ilmu pengetahuan lokal dan pengalaman. Peristiwa duduk makan bersama bisa juga dipakai sebagai ruang untuk menulis ide dan pemikiran tentang isu apapun di kampung. 


Bahan: meja panjang yang bisa memuat 10-12 orang. Arsip-arsip komunitas seperti buku, peta jelajah, kartupos, benih, makanan preservasi, dan produk komunitas. 


Aktivitas: Di meja ini juga akan terjadi workshop kecil menulis pengalaman dan cara pandang kita terhadap kampung, bisa dengan pendekatan menulis surat untuk subyek atau obyek tertentu. Hasilnya tulisan itu ditaruh di atas piring-piring makan sebagai simbol dari upaya merawat ke

hidupan dan upaya berbagi cerita dan pengalaman, seperti halnya membagi isi piring makan. 


Pertanyaan penuntun:

  • Apa sih yang paling kalian ingat dan paling kalian rindukan dari kampung halaman kalian? Bisa berupa pengalaman hidup, nilai, makanan, aktivitas, tradisi, dll. 

  • Apa yang berubah atau hilang dari kisah kalian tentang kampung halaman itu? Mengapa? 

  • Kalau ada hal yang perlu dihilangkan dan diubah dari kampung halaman kalian, kira-kira apa saja? Dan Mengapa harus diubah/dihilangkan?

  • Apa yang menjadi impian dan harapan kalian untuk kampung halaman kalian? 


Barang-barang yang ada di atas meja arsip atau di dalam piring makan. 



  1. Benih-benih lokal (jagung, ubi hutan, kacang, sorgum). 

  2. Piring atau peralatan makan (piring blek atau tempurung, menggambarkan sesuatu dari masa lalu yang masih relevan dan penting di kehidupan kita hari ini).

  3. Buku Surat-Surat dari Mollo, sebagai salah satu dokumentasi terbaru yang dikerjakan oleh kawan-kawan Lakoat.Kujawas secara kolektif sepanjang program Kampung Katong. Buku ini mencoba mengungkapkan narasi saling silang antara makanan dengan identitas, ruang hidup, politik, dsb. 

  4. Buku Dongeng dari Kap Nam, Berawal Dari Tanda Salib di Rumah Sang Klerek, Dongeng dari Nunuh Haumeni, Tubuhku Batu, Rumahku Bulan, Anak di Antara Hutan, Mata Air dan Batu. 

  5. Zine dan Booklet. Berisi 3 buah zine (zine Merdeka Pangan, Ruang Hidup dan Foodlab) dan 1 booklet terkait Skol Tamolol. Karya-karya ini berisi opini dan pemikiran juga pengalaman kawan-kawan di Lakoat dalam proses mengarsip pengetahuan lokal di kampung dan dalam proses membangun ruang-ruang kreatif untuk publik khususnya bagi kelompok anak, orang muda dan perempuan di desa. 

  6. Peta Jelajah Tur Gastronomi Mnahat Fe’u. Merespons musim panen di pegunungan Mollo dan hubungan antara ekologi, budaya pangan, sistem pangan dan kerja-kerja arsip yang dilakukan di Lakoat, kami merancang model tur kecil ini bukan saja untuk menikmati makanan lokal, namun kami ajak untuk menelusuri kampung dan ruang hidup sumber pangan berasal, mengajak tamu ikut panen di kebun atau berburu jamur liar. Mengajak tamu memasak bersama di foodlab lalu makan bersama. Mengajak tamu juga untuk terlibat dalam kerja-kerja arsip, dokumentasi, riset, lokakarya baik terkait sastra, maupun gastronomi dan seni budaya yang dilakukan di komunitas. 

  7. Skol Tamolok dan Identitas Marga. Menceritakan narasi-narasi yang tergambar dari kartu pos marga-marga yang ada di Desa Taiftob, antara lain marga Toto, Tanesib, Banfatin dan Tapatab. Apa yang menjadi tanda dan simbol bagi marga mereka, apa yang menjadi kebiasaan maupun pemali dari marga-marga ini. Simbol-simbol ini adalah hasil reproduksi pengetahuan lokal yang dikerjakan oleh anak dan orang muda di komunitas. Bagaimana pengetahuan lokal dan identitas marga dimaknai oleh generasi muda dengan cara mereka hari ini. 

  8. Brosur profil singkat lakoat.kujawas, mengajak peserta untuk melihat lebih dekat kerja-kerja komunitas Lakoat.Kujawas bukan saja selama 2 tahun Kampung Katong, melainkan juga se;ama 7 tahun berdiri. 





III. LED SCREEN: DOKUMENTASI VIDEO 


  1. Video refleksi komunitas Lakoat.Kujawas selama program Kampung Katong.

  2. Video musikalisasi 3 puisi dari buku Tubuhku Batu, Rumahku Bulan

  3. Video ritual panen jagung bersama keluarga om Tinus Tapatab




IV. MERCHANDISE 



Berikut adalah produk-produk komunitas yang dijual selama pameran arsip Kampung Katong di Labuan Bajo.


  1. Kaos Lakoat.Kujawas warna hitam (tersedia ukuran S, M dan L)

  2. Kaos Lakoat.Kujawas warna putih (tersedia ukuran S, M dan L)

  3. Kaos Tapun ma Tatef warna putih dan hitam (tersedia S, M dan L)

  4. Kaos Lakoat.Kujawas warna hijau muda (tersedia ukuran S, M dan L). 

  5. Tote bag Lakoat.Kujawas di kain blacu putih

  6. Tote Bag There is no peace in stolen land

  7. Tote bag Tapun ma Tatef 

  8. Kalender 2024

  9. Sambal Luat

  10. Kopi Mollo

  11. Kerupuk

  12. Rebung Asin

  13. Rebung Kering







Tidak ada komentar:

Posting Komentar