Toni Oematan
Skol
Tamolok adalah sebuah program yang dibuat oleh Komunitas Lakoat.Kujawas sebagai
cara untuk menghidupkan kembali seni budaya dan tradisi orang Mollo yang mulai
hilang. Kata tamolok berasal dari akronim ‘tabaina monit alekot’ artinya
menjadikan hidup lebih baik. Kalau mau diartikan secara harfiah kata tamolok juga
berarti ‘berbicara’. Sehingga Skol Tamolok bisa diartikan sebagai ‘sekolah
untuk berbicara’ atau ‘sekolah untuk menjadikan hidup lebih baik’. Program ini
pertama kali dilangsungkan pada bulan Januari 2020. Sehingga tahun ini genap 2 tahun.
Dalam
program ini disediakan tempat dan ruang bagi kaum muda atau generasi masa kini untuk
bertemu secara langsung dengan para tua adat dan orang-orang tua yang mengerti
dan paham tentang budaya dan tradisi orang Mollo. Diharapkan ada ruang bertemu,
bertukar pengetahuan dan pengalaman lintas generasi. Bagaimana caranya? Ya,
lewat duduk bersama dan berbicara (tamolok), dengan pendekatan sekolah non
formal, sekolah adat.
Bisa
dibilang bahwa Skol Tamolok adalah sebuah wadah yang disediakan komunitas bagi
orang muda sekarang untuk mendapatkan pengetahuan tentang budaya dan tradisi
mereka yang mana mulai hilang dan sekarang sudah tidak ada tempat lagi untuk
mengakses pengetahuan lokal itu sendiri. Program ini dibuat karena komunitas
melihat ada jarak/gap antara generasi sekarang dan generasi dahulu terkait
akses dan pemahaman akan pengetahuan adat.
Di program Skol Tamolok ada berbagai
topik yang selalu dibicarakan dan selalu relevan atau berkaitan langsung dengan
kondisi atau situasi yang terjadi di Mollo hari ini. Contohnya, kelas membaca
musim tanam (Tfua Pah) atau kelas membaca musim panen (Tepon Pensufa mat sium
mnah Fe’u). Pernah juga kami membuat kelas membaca tenun, kelas membaca rumah
adat dan kelas membaca tanah.
Pada
hari Sabtu 15 Januari 2022 kemarin kami menyelenggarakan Skol Tamolok, kelas
membaca musim panen (tepon pen sufa het sium mnah fe’u). Kami mengundang salah
satu tua adat dan penurut dari desa Bonle’u, bapa Obed Lim. Di kelas ini kami
mendapat banyak kesempatan besar untuk mencari tahu tentang ritual-ritual dan
tata cara orang orang Mollo menyambut musim panen, bagaimana mereka berelasi
dengan penguasa tanah (uis pah) dan para leluhur yang dipercaya berdiam di
balik batu dan hutan.
Bapa Lim bercerita dalam bahasa Dawan, coba
diterjemahkan oleh bapa Fun dan Mama Fun. Ini jadi sebuah tantangan bagi
generasi sekarang untuk mengerti semua hal yang dibicarakan dalam bahasa Dawan.
Kami juga mendokumentasi semua pembicaraan itu dalam bentuk video dan rekaman suara
(dibantu kak Ben Laksana dan kak Rara Sekar yang sedang residensi di komunitas
kami). Dokumentasi itu menjadi arsip komunitas dan kami kembangkan juga menjadi
transkrip.
Reproduksi Pengetahuan Adat
Mengerjakan
transkrip rekaman Skol Tamolok selalu menjadi hal menarik, seru sekaligus
menantang. Ada begitu banyak kata dalam bahsa adat yang tidak terlalu familiar
di telinga generasi muda. Sayang sekali. Itulah kenyataan bahwa ada gap yang
cukup jauh antara generasi tua dan generasi muda Mollo hari ini. Kita memang
perlu membangun jembatan untuk menghubungkan kedua generasi ini. Tapi lama-lama
makin terbiasa karena terus menerus melibatkan diri dalam seluruh proses
kreatif dalam model pendidikan adat ini. Sungguh sebuah pencapaian yang luar biasa
bagi kami sebagai generasi muda Mollo, punya akses untuk belajar pengetahuan
adat dari berbagai tokoh adat dan budayawan, makin paham konteks sejarah dan
budaya Mollo sekaligus bisa meningkatkan kemampuan berbahasa ibu.
Dari kelas-kelas di Skol Tamolok, hasil dokumentasi dan dan juga rekaman yang kemudian dibawa ke dalam bentuk ketikan itu akan dijadikan arsip dan juga dibukukan untuk kemudian bisa menjadi sumber pengetahuan bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Menurut kami cara ini akan sangat efektif untuk terus mendekatkan kembali jarak antara generasi sekarang dan yang dahulu dan kembali memperkaya pegetahuan lokal bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Hasil diskusi yang ada dalam Skol Tamolok kami sering menulis kembali untuk kemudian diposting pada media-media sosial kami sebagai bentuk kampaye untuk kembali mengenal dan melestarikan tradisi dan budaya. Sebab itu adalah indentitas diri kita sendiri yang tidak bisa kita tingalkan begitu jasa karena harus mengikuti perkembangan zaman yang sangat cepat, tetapi kita harus melihat bagaimana kita mengandengkan budaya dan tradisi dengan perkembangan zaman ini agar kedua-duanya setara atau berjalan berdampingan dan tidak ada yang ketinggalan.
Lantas bagaimana kita melihat modernitas dan kebudayan dan tradisi lokal yang ada? Kita bisa mengunakan media sosial sebagai media dan strategi yang sangat tepat untuk mengkampayekan nilai dan visi dari budaya dan tradisi yang relevan dengan tantangan zaman kita. Misalnya, nilai ekologi yang hidup dalam masyarakat adat bisa dimaknai dengan isu krisis dan perubahan iklim yang terjadi di dunia saat ini.
Berbagi pengetahuan adat ini akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan dan keingintahuan dari banyak orang yang dalam pengalaman kami justru akan memacu semangat, kepedulian dan rasa percaya diri kita untuk terus dan
terus mencari tahu, menyuarakan dan mempromosikan kebudayaan kita.
Toni Oematan adalah warga aktif desa Taiftob yang bergiat di komunitas Lakoat.Kujawas sekaligus bertugas sebagai koordinator program Kampung Katong sebuah program kolaborasi Lakoat.Kujawas dengan Simpasio Institute (Larantuka) dan Kolektif Videoge (Labuan Bajo).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar