Sherly Indrayanti
Pagi itu hari Minggu pertama di bulan September, bulan yang awalan katanya sama dengan nama saya. Bunyi ayam berkokok mendahului bunyi alarm hp yang sengaja saya pasang supaya saya tidak ketinggalan matahari terbit. Ayam pun berkokok bersahut-sahutan seperti bunyi alarm yang tidak bisa di snooze. Semesta memang selalu punya caranya sendiri untuk bersinergi dengan manusia.
Berjalan sedikit ke belakang rumah Dicky Senda tempat saya menginap, lalu kami nangkring untuk menyapa balik matahari yang setiap pagi tidak pernah absen menyapa kita (terkadang matahari mengalah pada awan dan hujan, bukan karena dia malas, tapi karena dia juga harus berbagi panggung).
Matahari pagi itu awalnya malu-malu tapi kemudian menyembul keluar dengan gagah berani. Seperti biasa, karena suka kurang preparasi dan mudah teralihkan, dengan batere kamera yang sekarat saya masih sibuk foto ini itu kayak anak norak (emang norak). Waktu matahari sedang gagah-gagahnya menampakan diri, batere kamera pun habis dan saya terpaksa untuk menggunakan kamera hp utk memotret momen yang ditunggu itu. Saat-saat seperti ini lah yang melatih kita untuk berdamai dengan diri sendiri termasuk memaafkan kebodohan sendiri.
Di desa ini, mayoritas warganya adalah Nasrani, sehingga di hari Minggu pagi sudah terdengar suara lonceng-lonceng gereja. Dicky ikut misa bersama Bapak dan saya ikut ibadah Minggu bersama Ibu di GMIT Ebenheizer, lima menit berjalan kaki dari rumah mereka. Ibadah berlangsung tertib dan hampir semua jemaat masih membawa Alkitab di tangannya, kecuali saya yang membawanya dalam bentuk aplikasi. Saya sangat menikmati suasana Ibadahnya dan merasa terberkati di tengah sebuah kesederhanaan.
Sepulang gereja, saya pun memulai petualangan bersama Dicky Senda, yang selain sebagai pemilik Lakoat.Kujawas, juga menjadi guide di hari itu. Kami jalan menyusuri sungai Sebau menuju Kampung Noebesi dan Manesat Anin, untuk bertemu dengan para mama penenun dan panen hasil kebun bersama warga.
Perjalanan ditempuh selama kurang lebih 2 jam dengan diselingi sesi berfoto di beberapa spot dan makan siang di tepi sungai. Dicky ternyata masih sempat memasak pagi itu dan membawa bekal utk makan siang kami. Makan nasi dengan lauk pauk sederhana dan sambal luat, di bawah langit biru sambil diiringi suara aliran sungai. Inilah yang disebut sebagai kemewahan dalam hidup.
Belajar tenun |
Dari Noebesi kami lanjut ke Manesat Anin ditemani Mama Via, Mama Mina, dan anak-anak (saya sudah tanya satu per satu namanya tapi belum hafal semua) Di sana, kami dijamu dengan singkong kapok dan jagung bose yang dipanen langsung dari kebun warga setempat. Lalu siang yang mulai terik itu pun dilengkapi dengan sejuknya air kelapa yang dipetik langsung dari pohon. Jefry adalah jagoan kami hari itu, karena dia yang menyodorkan diri untuk memanjat pohon kelapa.
Menjelang sore, kami pamit untuk kembali ke Taeftob sebelum gelap menjemput kami di perjalanan. Tetiba saya membayangkan perjalanan menyusur sungai dengan jalan berbatu yang tadi kami lewati dan meragukan diri sendiri apakah masih sanggup menempuh jalan pulang. "Andai ada jalan pintas atau ada kendaraan yang menjemput ke sini", begitu gumam saya dalam hati. Sayangnya, tidak ada pilihan lain. Berani berangkat ya harus siap pulang. "Semua hal dalam hidup ini ada ongkosnya, toh? Termasuk kebahagiaan!"
Panen ubi kapok bersama mama Via |
Perjalanan pulang yang awalnya saya pikir akan terasa lebih lambat dan menghabiskan energi, ternyata terlalui dengan lebih singkat. Keceriaan, kepekaan, dan ketulusan anak-anak Noebesi dan Maesat Anin menyisakan kehangatan yang teramat dalam di hati saya.
Saya berharap mereka semua bisa sekolah sampai tinggi dan bisa membangun desa nya. Saya justru tidak berharap mereka buru-buru mengenal internet. Biarlah mereka tumbuh alami tanpa percepatan, bermain dengan alam nyata sehari-hari yang bukan virtual. Ya Tuhan, jagalah mereka dalam tangan Mu.
***
bersama Keluarga Senda |
Berbeda dari Kota Kupang yang terik dan berdebu, Mollo merupakan daerah pegunungan yang sejuk dan asri. Tingkat polusi nya sangat rendah karena selain letaknya di pegunungan, alamnya hijau, sangat sedikit juga kendaraan yang lalu lalang sehari-hari. Air untuk mandi juga terasa sejuk di kulit. Setiba di sini, kepenatan (setelah hanya tidur 3 jam di malam sebelumnya, penerbangan 5 jam dari Jakarta, dan perjalanan 3.5 jam dari Kupang-Kapan dengan AC alam) seketika hilang.
Selama menginap, saya berkesempatan menikmati masakan rumah yang disiapkan langsung oleh Dicky Senda dan Mama Rika. Menu yang terhidang tidak pernah luput dari sayuran segar dan sambal lu'at. Campuran jeruk di setiap hidangan memberikan sensasi kesegaran tersendiri di lidah yang membuat saya selalu nambah dan lupa pada kata diet. Pilihan karbohidrat yang tersedia cukup bervariasi mulai dari beras merah, ubi atau singkong rebus, dan jagung bose kupas yang direbus bersama kacang-kacangan. Lauk yang cukup khas adalah lawar jantung pisang. Kebetulan Dicky senang berkreasi dengan bahan pangan lokal dan hasil olahannya selalu pas di lidah.
Mama Rika selalu bangun pagi-pagi dan langsung sibuk di dapur, sehingga begitu saya keluar kamar, di meja makan pasti sudah tersedia camilan ringan yang sangat pas untuk sarapan. Pisang goreng, kue cucur, sukun goreng, dan roti isi kelapa gula merah adalah aneka kreasi camilan buatan Mama Rika yang sempat saya nikmati. Selain pada bahan-bahan yang segar dan alami, kenikmatan makan di sini terletak pada sentuhan tangan Ibu yang membuat saya berasa di rumah.
Keramahan penduduk lokal juga merupakan salah satu faktor yang membuat saya betah di sini. Bukan sekedar ramah dan murah senyum, penduduk di sini selalu bertegur sapa satu sama lain ketika bertemu di jalan meskipun belum tentu hafal nama. "Mama! Bapa! Kakak!" Begitu kira-kira cara mereka saling menyapa. Cara bercakap-cakap dengan orang baru pun jauh dari kesan basa-basi sehingga menghadirkan keakraban tersendiri.
Ume Kbubu, rumah tradisional suku Dawan |
Sebuah hari Minggu penuh makna, sebuah kado yang datang lebih awal di tahun ini. Terima kasih, Dicky Senda yang sudah memperkenalkan petualangan kecil ini. Dicky Senda, kawan baru saya ini, adalah seorang penggiat seni kelahiran Mollo yang memilih untuk pulang ke desanya untuk merintis kewirausahaan sosial di sana.
Penulis tinggal di Jakarta dan bekerja di UNDP
Mama Martha dari Noebesi |
Anak-anak Kampung Noebesi |
Belajar Makan Sirih Pinang |
Anak-anak lembah Mollo |
Bersama warga kampung Manesat Anin |
pengen ke sini suatu saat
BalasHapusmain ke http://catatanpringadi.com
Woowww terima kasih ka sherly. Berbagi hidup lewat pengalaman kk di Mollo. Saya iri (dibaca: karna saya sendiri belum pernah merasakan yg kk rasakan padahal, saya orang NTT). Saya juga harus ke mollo. Skali lagi terima kasih ka
BalasHapus