Senin, 04 Oktober 2021

Tiang An Mone


Dalam uem bubu, tiang kedua (tiang di kiri depan) disebut tiang kolo manu. Kolo manu bisa diartikan sebagai tamu atau bisa juga diartikan sebagai anak. Kami menggambarkan tiang dalam pameran ini sebagai tiang anak laki-laki (an mone). Tiang ini mewakili elemen batu (fatu)

 

Kain Betmuti: Paukolo


Ada ungkapan turun temurun dalam bahasa Timor “Niun
oel panat he naekan te tepas, meuk homan panat he naekan te balat” yang menjadi dua pedoman turun temurun: airnya boleh diminum tapi dijaga sehingga tidak tenggelam dan hilang dan rumputnya boleh dimakan tetapi dijaga sehingga tidak sampai di akar.

Atau “Fatu, nasi, noel, afu afatis neu monit mansian”, batu, hutan, air dan tanah bagai tubuh manusia. Batu diibaratkan sebagai tulang, hutan sebagai rambut, air sebagai darah dan tanah sebagai kulit. Jika salah satunya hilang, bagaimana manusia bisa hidup? Untuk mengingat dan mewariskan itu, selain diungkapkan dalam syair, narasi ini muncul juga dalam simbil-simbol di rumah bulat hingga hamparan kain tenun.

Betmuti (selimut laki-laki Mollo) menggambarkan air (noel) dengan garis besar berwarna putih, sementara hutan dan kebun hadir dalam simbol garis hijau dan kuning. Pemimpin muncul dalam simbol burung (kol matobe) atau simbol jejak kaki anjing (aus nobe). Sementara masyarakat (tobe) adalah keragaman warna dalam simbol berjejer di area putih. Pemimpin di Mollo bisa muncul dalam beragam simbol binatang selain burung dan anjing, ada juga simbol babi (fafi) dan buaya (besimnasi).

 

Malak

malak tualaka

Malak
adalah simbol dari marga atau klan yang menjadi idetitas tertentu dalam relasi sosial. Malak disebut cap ketika ia diberikan ke tubuh hewan yang dilepas liar di hutan dan tanah ulayat sebagai penanda kepemilikan. Malak juga muncul di tubuh manusia sebagai tato. Setelah mengenal huruf Latin ada yang mengganti malak dengan inisial huruf. Bagi sebagian orang Mollo dengan melihat malak kita bisa dengan mudah mengidentifikasi apa marga orang tersebut. Bagi orang muda dulu, malak jadi pengingat boleh tidaknya menikah dengan seseorang karena masih banyak kesepakatan antar suku, marga tertentu tidak boleh menikah dengan marga lainnya.

Praktik malak pada hewan (cap) mulai hilang ketika sapi Timor masuk ke dalam hewan yang diperdagangkan ke luar NTT. Salah satu syarat pengiriman sapi hidup yang akan dipotong adalah ia haruslah tanpa cacat. Cap pada tubuh sapi tidak akan masuk standar. Dengan sendirinya praktik malak hilang. Namun jauh sebelum itu, praktik malak mulai memudar ketika hutan dan padang ulayat semakin sempit atau diambil alih oleh negara untuk hutan tanaman industri, hutan lindung atau daerah penghijauan, tradisi melepas liar sapi-sapi dan hanya akan dikenali dengan malak di tubuh juga ikut hilang. Begitupun malak sebagai tato juga hilang karena pengaruh agama dan pendidikan formal.

Ini adalah malak-malak yang berhasil dikumpulkan warga desa Taiftob.

 

Malak: Tualaka 

Malak marga Tualaka bentuknya seperti jangkar kapal/payung terbalik

Malak: Toto dan Tanesib

Toto dan Tanesib jadi bagian dari 8 marga besar yang ada di kefetoran Netpala. Otes atau sapaan marga untuk Toto adalah Oki dan Tanesib adalah Kolo. Malak Toto dan Tanesib mirip, seperti bentuk hati dengan ekor dan dua tangkai, bedanya Toto tangkainya terpisah, Tanesib tangkainya menyatu dengan bentuk hati.

Malak: Tapatab dan Sunbanu


Tapatab adalah salah satu marga di lereng gunung Mutis. Mereka punya rumah adat namanya
Ume Ni’bon (Bonat) dan Ume Amamat. Ada dua Tapatab, Saieles. sang adik yang menjaga pintu air dan kakak, Amamat, yang menjaga pintu batu.  Batu marga mereka namanya Faut Lui dan Bais, ada di dekat gunung Mutis. Sapaan atau otes untuk marga ini adalah lali yang artinya ubi keladi. Marga ini pantang mak
an ubi keladi warna ungu juga jambu air hutan. 

Sementara Sunbanu adalah marga besar di kefetoran Nunbena, motif tenunnya adalah aos nobe atau jejak kaki anjing (tergantung di tiang 1).

 

Gong dan Giring-Giring

Sebagai rumah tinggal, dapur sekaligus lumbung, uem bubu juga punya fungsi sebagai ruang seni budaya. Gong, giring-giring, tambur dan nafiri digantung di tiang-tiang uem bubu sebagai dekorasi interior sekaligus dipakai saat pesta dan pengumuman penting. Giring-giring dipakai untuk menari dengan cara dililit di pergelangan kaki. Gong dimainkan saat pesta namun bisa juga berfungsi sebagai alat komunikasi, misalnya, saat ada pencuri, kebakaran atau pun kematian. Orang-orang bisa memahami pesan lewat bunyi.

Ada beberapa jenis gong antara lain, toluk (gong tunggal), kiko (pasangan, sopran), saeb (pasangan, tenor) dan bolo (tunggal, bas). Cara memainkan gong juga berbeda tiap klan dan suku, sama halnya ketika orang Mollo mampu membedakan bunyi gong ketika ada pencuri maupun bunyi ketika ada kematian. Ia bisa jadi sandi saat ada musibah.

 

Buku Tubuhku Batu, Rumahku Bulan


Kumpulan puisi ini direncakan akan jadi bagian dari 4 seri kumpulan cerpen dan puisi yang terkait dengan empat elemen alam yang berelasi spesial dengan orang Mollo: hutan, mata air, tanah dan batu. Ditulis oleh anak-anak desa setelah bersama-sama melakukan riset dan pemetaan narasi tentang batu-batu yang menjadi simbol bagi banyak marga di pegunungan Mollo. Hasil penelusuran itu kemudian diterjemahkan oleh anak-anak ke dalam medium puisi. Buku ini terbit tahun 2019.



Buku Dongeng dari Kap’nam To’ Fen

Buku ini adalah hasil perdana dari kerja pengarsipan narasi di desa Taiftob, berisi dongeng, legenda dan fabel yang ditulis anak dan remaja desa Taiftob yang bergiat di Lakoat.Kujawas. Kebanyakan adalah dongeng dari masa kecil yang ditulis kembali dengan perspektif baru, anak-anak. Buku ini terbit tahun 2018. 

 





Jangan lupa follow akun Instagram kami @lakoat.kujawas untuk simak dan dukung kerja-kerja pengarsipan pengetahuan lokal di pegunungan Mollo, Timor Tengah Selatan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar