Dalam uem bubu,
tiang kedua (tiang di kiri depan) disebut tiang kolo manu. Kolo manu
bisa diartikan sebagai tamu atau bisa juga diartikan sebagai anak. Kami menggambarkan
tiang dalam pameran ini sebagai tiang anak laki-laki (an mone). Tiang
ini mewakili elemen batu (fatu)
Kain Betmuti:
Paukolo
Ada ungkapan turun temurun dalam bahasa Timor “Niun oel panat he naekan te tepas, meuk homan panat he naekan te balat” yang menjadi dua pedoman turun temurun: airnya boleh diminum tapi dijaga sehingga tidak tenggelam dan hilang dan rumputnya boleh dimakan tetapi dijaga sehingga tidak sampai di akar.
Atau “Fatu, nasi, noel, afu afatis neu monit mansian”,
batu, hutan, air dan tanah bagai tubuh manusia. Batu diibaratkan sebagai
tulang, hutan sebagai rambut, air sebagai darah dan tanah sebagai kulit. Jika
salah satunya hilang, bagaimana manusia bisa hidup? Untuk mengingat dan
mewariskan itu, selain diungkapkan dalam syair, narasi ini muncul juga dalam
simbil-simbol di rumah bulat hingga hamparan kain tenun.
Betmuti (selimut
laki-laki Mollo) menggambarkan air (noel) dengan garis besar berwarna
putih, sementara hutan dan kebun hadir dalam simbol garis hijau dan kuning.
Pemimpin muncul dalam simbol burung (kol matobe) atau simbol jejak kaki
anjing (aus nobe). Sementara masyarakat (tobe) adalah keragaman
warna dalam simbol berjejer di area putih. Pemimpin di Mollo bisa muncul dalam
beragam simbol binatang selain burung dan anjing, ada juga simbol babi (fafi)
dan buaya (besimnasi).
Malak
Malak adalah simbol dari marga atau klan yang menjadi idetitas tertentu dalam relasi sosial. Malak disebut cap ketika ia diberikan ke tubuh hewan yang dilepas liar di hutan dan tanah ulayat sebagai penanda kepemilikan. Malak juga muncul di tubuh manusia sebagai tato. Setelah mengenal huruf Latin ada yang mengganti malak dengan inisial huruf. Bagi sebagian orang Mollo dengan melihat malak kita bisa dengan mudah mengidentifikasi apa marga orang tersebut. Bagi orang muda dulu, malak jadi pengingat boleh tidaknya menikah dengan seseorang karena masih banyak kesepakatan antar suku, marga tertentu tidak boleh menikah dengan marga lainnya.
Ini adalah malak-malak
yang berhasil dikumpulkan warga desa Taiftob.
Malak:
Tualaka
Malak marga
Tualaka bentuknya seperti jangkar kapal/payung terbalik
Malak: Toto
dan Tanesib
Toto dan
Tanesib jadi bagian dari 8 marga besar yang ada di kefetoran Netpala. Otes atau
sapaan marga untuk Toto adalah Oki dan Tanesib adalah Kolo. Malak Toto
dan Tanesib mirip, seperti bentuk hati dengan ekor dan dua tangkai, bedanya
Toto tangkainya terpisah, Tanesib tangkainya menyatu dengan bentuk hati.
Malak:
Tapatab dan Sunbanu
Tapatab adalah salah satu marga di lereng gunung Mutis. Mereka punya rumah adat namanya Ume Ni’bon (Bonat) dan Ume Amamat. Ada dua Tapatab, Saieles. sang adik yang menjaga pintu air dan kakak, Amamat, yang menjaga pintu batu. Batu marga mereka namanya Faut Lui dan Bais, ada di dekat gunung Mutis. Sapaan atau otes untuk marga ini adalah lali yang artinya ubi keladi. Marga ini pantang mak
an ubi keladi warna ungu juga jambu air hutan.
Sementara Sunbanu adalah marga besar di kefetoran Nunbena, motif tenunnya adalah aos nobe atau jejak kaki anjing (tergantung di tiang 1).
Gong dan
Giring-Giring
Sebagai rumah
tinggal, dapur sekaligus lumbung, uem bubu juga punya fungsi sebagai
ruang seni budaya. Gong, giring-giring, tambur dan nafiri digantung di
tiang-tiang uem bubu sebagai dekorasi interior sekaligus dipakai saat
pesta dan pengumuman penting. Giring-giring dipakai untuk menari dengan cara
dililit di pergelangan kaki. Gong dimainkan saat pesta namun bisa juga
berfungsi sebagai alat komunikasi, misalnya, saat ada pencuri, kebakaran atau
pun kematian. Orang-orang bisa memahami pesan lewat bunyi.
Ada beberapa
jenis gong antara lain, toluk (gong tunggal), kiko (pasangan,
sopran), saeb (pasangan, tenor) dan bolo (tunggal, bas). Cara
memainkan gong juga berbeda tiap klan dan suku, sama halnya ketika orang Mollo
mampu membedakan bunyi gong ketika ada pencuri maupun bunyi ketika ada
kematian. Ia bisa jadi sandi saat ada musibah.
Buku Tubuhku
Batu, Rumahku Bulan
Kumpulan puisi ini direncakan akan jadi bagian dari 4 seri kumpulan cerpen dan puisi yang terkait dengan empat elemen alam yang berelasi spesial dengan orang Mollo: hutan, mata air, tanah dan batu. Ditulis oleh anak-anak desa setelah bersama-sama melakukan riset dan pemetaan narasi tentang batu-batu yang menjadi simbol bagi banyak marga di pegunungan Mollo. Hasil penelusuran itu kemudian diterjemahkan oleh anak-anak ke dalam medium puisi. Buku ini terbit tahun 2019.
Buku Dongeng
dari Kap’nam To’ Fen
Jangan lupa follow akun Instagram kami @lakoat.kujawas untuk simak dan dukung kerja-kerja pengarsipan pengetahuan lokal di pegunungan Mollo, Timor Tengah Selatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar