Hari ini saya merasa seperti tersesat dalam banyak pertanyaan yang belum mampu saya jawab ketika hadir di sebuah festival budaya yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten tempat lahir saya, Timor Tengah Selatan. Saya datang tanpa rencana dan tertawan begitu saja oleh banyaknya kain tenun dengan ratusan motif yang menandakan keanekaragaman subetnis kabupaten TTS. Ada cerita dari masing-masing lembar kain. Ada nilai, roh dan makna yang dalam di sana. Menenun adalah wujud pemikiran dan rasa tertinggi dari perempuan Timor Tengah Selatan. Saya lantas memikirkan hal ini...
Coba Anda perhatikan kain-kain berikut.
Indah, ajaib, super, fantastik, entah kata apa lagi. Pernahkah berpikir lebih jauh, tentang daya imajinasi, kreatifitas, pemaknaan yang dalam, kemampuan matematis, daya ingat, dan hal kompleks lainnya?
Pernahkah sejenak berpikir lebih jauh dari sekadar kagum, bahwa kain-kain ini diciptakan oleh perempuan-perempuan luar biasa dari TTS? Dengan melibatkan segala bentuk olah pikir-olah rasa. Perhitungan yang begitu cermat dan cinta yang dalam. Kawan, kekayaan ini, harta karun ini, diciptakan oleh perempuan-perempuan TTS.
TTS, Timor Tengah Selatan.
Kabupaten yang harus kita akui, dengan sedih, masih menyumbang begitu banyak problem TKI tak berdokumen lengkap, human trafficking hingga dugaan korban penjualan organ tubuh? Perempuan yang dikepalanya tersimpan harta karun tadi. Mereka yang terbujuk rayu mencari hal-hal semu di luar sana. Ada yang salah. Lalu apa?
Terus terang, saya masih terus merinding ketika pulang dan menjauh dari ribuan lembar kain beraneka motif luar biasa di festival tadi. Begitu luar biasanya kekayaan intelektual perempuan TTS. Tapi di motor saya terus diingatkan, bahwa hingga detik ini saudara-saudara perempuan kita dari TTS masih saja menjadi korban perdagangan orang.
Apa yang sedang terjadi? Apa yang salah? Menutup pertanyaan refleksi ini, saya teringat cuplikan wawancara aktivis yang gigih mengadvokasi korban human trafficking, Romo Leo Mali, Pr, kepada ucanews.com.
"Terlalu banyak orang yang belum melihat masalah human trafficking atau perdagangan manusian sebagai sebuah isu serius, termasuk warga Gereja. Belum banyak yang peduli, termasuk Gereja itu sendiri."
Semoga dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal seperti di atas, terus mendorong kita juga untuk peduli dengan lingkungan sekitar dan mulai untuk melalukan sesuatu, meski kecil, untuk orang lain.
Salam
Dicky Senda
Pertanyaan yang mengganjal saya juga, tentang human trafficking dan kekayaan kain tenun di daratan Timor. Sukses untuk Lakoat Kujawas :)
BalasHapus