LES melibatkan orang muda dan bapa mama. Bagi Randi kegiatan ini bukan murni ingin menjadikan bapa mama dan orang muda di desa Taiftob jago Bahasa Inggris tapi lebih ke bagaimana platform Bahasa Inggris, medis sosial dan hal kekinian lainnya bisa jadi alat atau sarana untuk berekspresi, berkomunikasi, mengembangkan rasa percaya diri teman-teman di komunitas. Lakoat.Kujawas kini telah menjadi ruang bertemu antar warga dengan warga, warga dengan relawan, seniman, aktivis, dengan tamu yang mengakses program ekowisata kami, dsb. Paham cara berkomunikasi lintas budaya tentu penting. LES membantu untuk menjembatani kebutuhan itu. Rasa percaya diri memang modal penting dalam interaksi dan berkomunikasi. Lantas bagaimana LES dibangun dan dieksekusi?
Randi pernah mengagas kelas
Bahasa Inggris sejenis juga untuk anak-anak Lakoat di tahun awal komunikasi
kami berdiri, juga dengan misi yang sama dan berhasil. Bukan soal anak fasih
berbahasa Inggris tapi karena desain programnya yang asyik, bermuatan seni
budaya dan interaktif anak-anak tidak merasa jadi beban untuk bisa fasih
berbahasa Inggris. Dari pengalaman dan semangat yang sama, Randi mencoba
mengembangkan itu untuk orang dewasa.
Makanan Adalah Identitas Budaya
Tiap pertemuan, mereka akan membahas makanan sebagai bagian dari identitas sebuah kebudayaan. Kuliner memang sedang jadi fokus dalam kerja-kerja kreatif di Lakoat.Kujawas yang melibatkan orang-orang dewasa dua tahun terakhir. Kami aktif mengarsip pengetahuan lokal terkait pangan, kuliner, gastronimi dan pertanian lokal, juga kaitannya dengan seni budaya, sejarah dan ekologi. Bahwa benar dari makanan kita bisa melihat kebudayaan Mollo, manusia, cara mereka merespons alam dan kehidupan. Bagaimana mereka orang Mollo bisa bertahan hidup di musim yang tak menentu.
Seru
kalau LES kemudian membahas hal-hal yang dekat dan dilakukan setiap hari oleh
teman-teman di Lakoat. Randi dengan jaringannya, juga melibatkan kawan-kawan
semasa kuliah Development Studies dan juga kawan-kawan dari Kelas Berbasis
Forum SoE Peduli. Kesempatan berjumpa secara virtual dengan teman-teman dari
luar Indonesia juga bisa membangkitkan rasa percaya diri.
Dari pengamatan kami, rasanya
keterbatasan Bahasa tidak menjadi hambatan dan persoalan serius selama kita
bisa saling paham maksud lawan bicara. Kami rasa dari situlah kekuatannya
program ini untuk mematahkan asumni yang selama ini tumbuh bahwa belajar Bahasa
asing itu sulit dan kalau tidak bisa berbahasa asing maka sulit bertemu dan
berkomunikasi dengan orang lain. Pengalaman-pengalaman langsung selama ini
bertemu dengan para tamu Lakoat dari berbagai suku bagsa (ada dari Jornadia,
India, Hongkong dan Australia) juga lewat kelas kreatif seperti LES kemudian
semakin meyakinkan mereka bahwa pada akhirnya, manusia itu punya keunikan yang
menjadikan mereka bisa bersosialisasi dengan siapapun dengan Bahasa Tarzan
sekalipun. LES bahkan semakin menguatkan kesadaran identitas, kebangaan akan
pangan lokal, misalnya. Ketika di ruang virtual LES, bapa mama dan orang-orang
muda bisa bercerita tentang makanan lokal mereka, kebudayaan mereka dengan
bangga, kami kira itulah keberhasilan lain yang dibangun bersama Lakoat.Kujawas
dan kawan-kawan relawan.
Dalam semangat #BeingIndigenous
dan #BecomingIndigenous, kami sadar bahwa kawan-kawan di Mollo hari ini sudah
sangat terbuka dan terhubung dengan banyak sekali orang, komunitas dan
kelompok. Pada titik ini, kesadaran akan indentitas budaya, rasa bangga akan
kampung halaman dan kekayaan alam dan budayanya menjadi sangat penting. Bahwa
kadang perlu apresiasi dan dorongan dari pihak luar untuk mengingatkan kita
bahwa sejatinya kita ini luar biasa.
Tony Oematan, orang muda Mollo, sarjana pendidikan Bahasa Inggris, bergiat di Komunitas Lakoat.Kujawas. Fasilitator lapangan program Being and Becoming Indigenous
agen dengan 100% player vs player hanya di IONQQ :)
BalasHapusWA : +855 1537 3217