We present a concept of social enterprise/social entrepreneurship based in Mollo, Timor and utilize the natural and cultural potential for economic improvement as well as the empowerment of local communities, particularly young people. Our focus includes literacy, art-culture and the creative economy. This project involves the youth community, village library as a center for arts and culture, homestay and creative economy. It is located in Jl. Kampung Baru, No. 2, Village of Taeftob, District of North Mollo, South Central Timor, East Nusa Tenggara, Indonesia 85552. Telp./Whatsapp 081338037075. E-mail: lakoat.kujawas@gmail.com.

Senin, 06 Juli 2020

Lakoat.Kujawas: Budaya adalah Kekuatan Ekonomi




Artikel dari Koalisi Seni
Tidak banyak orang yang tahu tentang Taiftob. Kalaupun Anda mencari informasi tentang Taiftob lewat Google, sebagian besar hasil yang akan Anda temukan berkaitan dengan Lakoat.Kujawas.

Taiftob adalah nama suatu desa di Kecamatan Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Di sana, sastrawan Dicky Senda menggagas Lakoat.Kujawas, kewiraswastaan sosial yang menghubungkan seni dan literasi dengan ruang-ruang produksi khas Mollo.
Mulanya, kepulangan Dicky ke Taiftob hanya untuk melakukan riset. Saat itu ia masih bekerja di Kupang sebagai konselor pendidikan. Ternyata banyak yang ia temukan dalam proses riset itu. Dicky melihat bagaimana kampungnya, dan kampung-kampung lain di Timor, ditinggal pergi oleh orang-orang mudanya. Mereka putus sekolah kemudian merantau mencari penghidupan. Ada yang ke luar daerah, bahkan tak sedikit yang menjadi buruh migran ke Malaysia. Ia juga mendengar banyak dari mereka menjadi korban trafficking atau pulang dalam kondisi terjangkit HIV.
Akhirnya, Dicky malah membulatkan tekad untuk melepas pekerjaannya dan pulang kampung ke Taiftob. Di hatinya, ada satu niat: membuat masyarakat Mollo, terutama orang mudanya, berdaulat atas alam dan budayanya sendiri. Bersama kawan-kawannya di Taiftob, Dicky mendirikan Lakoat.Kujawas pada 10 Juni 2016. Lakoat (biwa) dan kujawas (jambu biji) ialah dua buah yang akrab dengan kehidupan anak-anak Mollo. Keduanya menggambarkan keceriaan, potensi, dan harapan yang tumbuh dari kampung-kampung di Mollo.
Jejak Akar dan Tradisi pada Batu
Ketika Dicky dan kawan-kawannya kembali ke Desa Taiftob, mereka melihat putusnya rantai budaya antar-generasi. Fenomena ini membuat mereka, yang aktif berkegiatan di bidang seni, gelisah. Keputusan orang-orang muda meninggalkan desanya untuk bekerja ke luar daerah membuat seni dan budaya Mollo hanya dijalankan oleh orang-orang tua.
“Jika kami harus membuat orang muda bertahan di Mollo, maka kami harus memberi argumen bahwa seni budaya bisa menjadi perolehan ekonomi mereka,” begitu menurut Dicky. Salah satu dari seni lokal yang meluntur adalah tradisi bertutur. Mereka pun bergerak dari sana.
Enam kecamatan dalam wilayah adat Mollo dan Taiftob dipilih sebagai lokasi utama kegiatan Lakoat Kujawas. Namun, untuk kepentingan riset, mereka juga menjangkau desa-desa lain di sekitarnya. Mereka menggali cerita-cerita yang berkembang di masyarakat Mollo dalam bentuk mitos, dongeng, dan sejarah. Keterikatan yang kuat antara masyarakat Mollo dengan alamnya menghasilkan beragam cerita yang hebat. Cerita-cerita ini menjadi kekuatan budaya sekaligus kunci untuk hidup damai berdampingan dengan alam.
Di sebidang tanah pinjaman dari warga desa, Lakoat.Kujawas mendirikan sebuah perpustakaan. Buku-bukunya diambil dari koleksi pribadi relawan, juga dari bantuan Komunitas Pustaka Bergerak, jaringan relawan yang misinya adalah menyebarkan bacaan bermutu ke seluruh penjuru Indonesia. Lakoat.Kujawas diuntungkan dengan hari pengiriman buku gratis yang ditetapkan pemerintah pusat setiap bulan pada tanggal 17. Dicky percaya bahwa mereka yang membaca akan dekat dengan menulis. Lewat menulis, anak-anak dapat diajak untuk mengenal budaya dan identitas mereka sendiri. Contohnya, dengan mengajak anak-anak desa menuliskan cerita tentang sejarah batu-batu.
Bebatuan alam memang menjadi ciri khas lanskap Mollo dan merupakan bagian dari keseharian warganya. Marga dan nama-nama tempat dinamai berdasarkan nama batu. Menggali sejarah tentang batu diharapkan bisa menyadarkan masyarakat akan potensi besar yang terkandung di tanah kampung halaman mereka sendiri dan bagaimana melindunginya. Ini sekaligus pendekatan yang tepat untuk mengangkat isu besar yang kini dihadapi masyarakat Mollo Utara: penambangan liar dan eksploitasi marmer.
Pengetahuan akan masakan dan cita rasa lokal menjadi cara yang juga dipilih Lakoat.Kujawas untuk mengajak warga mengenali kembali akarnya sendiri. Resep-resep khas Mollo, warisan turun-temurun dari leluhur, dikumpulkan. Dalam perjalanannya, ditemukan adanya pengaruh Tiongkok dan Belanda dalam resep-resep itu. Ibukota Mollo Utara, Kapan, adalah kota pertama yang dibangun kolonialis Belanda di Timor Tengah. Maka, tak heran jika pengaruhnya terlihat pada masakan-masakan Mollo yang dipanggang. Para perantau Bugis yang menyebar di Mollo sejak tahun 1950-an juga turut meyumbangkan pengaruhnya pada cita rasa lokal.
Revitalisasi seni dan budaya yang dilakukan para relawan Lakoat.Kujawas disambut hangat oleh warga desa. Seni adalah hal yang telah lekat dengan masyarakat Mollo sejak dulu. Mereka dengan antusias mengikuti berbagai pelatihan yang diadakan oleh Lakoat.Kujawas–kelas menulis, kelas teater dan tari, misalnya–juga ramai-ramai hadir pada acara pementasan teater atau pemutaran film. Dalam kesempatan seperti itu, tanpa diminta, beberapa warga tergerak menyumbangkan makanan untuk yang hadir. “Ini semacam kerinduan akan kegiatan seni zaman dulu, terutama ketika setiap panen ada perayaan, berbalas pantun, dan lain-lain,” jelas Dicky.
Berdaulat dalam Budaya, Berdaulat dalam Ekonomi
Lakoat.Kujawas memiliki satu blog, satu akun Twitter, satu laman Facebook, dan dua akun Instagram. Beragam kegiatan yang sedang berlangsung di sana dikabarkan lewat berbagai platform media sosial itu. Tapi bukan itu saja. Laman Facebook dan akun Instagram @lkjws.co mereka jadikan etalase untuk memamerkan produk-produk olahan warga Mollo.
Produk-produk itu dikemas dengan cantik, menyesuaikan diri dengan pasar generasi milenial dan pasca-milenial yang piawai bermedia-sosial. Lihat saja produk Kopi Mollo, yang dikemas dalam kantong karton berklip (bisa ditutup kembali) warna cokelat. Kemasan itu ditempeli label stiker bergambar buah lakoat berwarna oranye yang menarik mata. Lakoat.Kujawas juga menjual jagung bose siap masak. Jagung bose adalah panganan kaya serat khas Mollo yang berbahan dasar jagung, kacang merah, dan labu kuning. Produk ini dikemas dalam plastik transparan, menampilkan warna-warni cantik bahan dasarnya yang mengingatkan akan tampilan sebungkus granola.
Sejak awal menggagas Lakoat.Kujawas, Dicky sadar bahwa kemandirian ekonomi krusial bagi warga Mollo. Kesulitan mencari dan menciptakan lapangan kerja, yang menggiring orang-orang muda keluar dari desanya, menyisakan anak-anak dan orang-orang tua di luar usia produktif. Maka, gagasan seputar membangkitkan budaya dan tradisi lokal harus terlihat hasil praktisnya, bukan hanya dalam konteks ideal, agar naik daya tawarnya di mata orang-orang muda.
Selain masakan dan hasil pertanian, tenun menjadi komoditas unggulan warga Mollo. Lakoat.Kujawas merangkul para perempuan penenun untuk membagikan pengetahuan mereka lewat program lokakarya. Diakui Dicky, lokakarya ini lahir dari inisiatif warga. Ini artinya sudah muncul desakan dari warga untuk melahirkan generasi baru penenun Mollo.
Hasil tenun, berdampingan dengan produk lainnya, mereka pasarkan lewat media sosial. Produk-produk warga juga dititipjualkan di toko-toko online dan LSM Kupang Batanam. Hasilnya dikembalikan ke perajin dan digunakan oleh Lakoat.Kujawas untuk mendanai kegiatan mereka. Setelah berjalan dua tahun, mereka mulai mempertimbangkan untuk membuat toko fisik di Taiftob dan mendistribusikan produk-produk Mollo ke Pulau Jawa.
Berkat prakarsa dan upaya mereka, Lakoat.Kujawas diundang oleh British Council untuk mengikuti pelatihan kewirausahaan di Bali dan di Inggris. Pengalamannya menjalani pelatihan di Inggris menguatkan pandangan Dicky bahwa kewirausahaan sosial bisa menggerakkan banyak kebaikan di masyarakat sambil tetap menghasilkan keuntungan yang layak untuk hidup. Salah satu materi yang menurut Dicky dapat diterapkan di Mollo adalah active citizen. Dialog antar-budaya dan pembangunan sosial yang digerakkan komunitas, yang menjadi titik tumpu materi ini, menurut Dicky, cocok untuk diterapkan oleh generasi milenial di Mollo.
Satu lagi komoditas lokal yang sedang dimatangkan konsepnya oleh Dicky dan kawan-kawan adalah paket wisata jejak pusaka (heritage trails). Paket ini ditawarkan kepada wisatawan yang tertarik untuk mengeksplorasi seni, budaya, dan religi masyarakat Mollo. Salah satu unsur sejarah yang akan diangkat adalah kayu cendana. Ternyata dahulu orang-orang Eropa dan Tiongkok datang ke Mollo untuk mencari kayu cendana.
Untuk mengembangkan wisata jejak pusaka, Lakoat.Kujawas sempat berdiskusi dengan pihak Kementerian Pariwisata, tepatnya dengan Deputi Bidang Budaya, Sejarah, Religi, dan Wisata. Kementerian Pariwisata sudah menunjukkan ketertarikan akan konsep tersebut. Pihak lain yang digandeng untuk mewujudkan rencana ini adalah Komunitas Kesengsem Lasem dari Jawa Tengah. British Council pun membantu dengan mempertemukan Lakoat.Kujawas dengan pengelola Pasar Papringan, yang telah berhasil melakukan revitalisasi wilayah kumuh menjadi atraksi wisata ramah lingkungan di Temanggung.
Dicky mengakui bahwa kontak Lakoat.Kujawas dengan pemerintah daerah masih terbatas. Pemerintah desa sendiri sudah mulai mengajak mereka untuk terlibat dalam musrembang dan penyusunan anggaran desa. Namun, belum terbentuknya pemahaman akan potensi seni dan budaya membuat pemerintah daerah belum responsif terhadap program-program yang mereka gagas.
Sebaliknya, Dicky menilai respons pihak-pihak di luar pemerintah justru jauh lebih baik. Hal ini terbukti dengan terjalinnya kerja sama dengan British Council, LSM Kupang Batanam, juga terwujudnya program residensi seni yang didukung oleh SMPK St. Yoseph Freinademetz Kapan dan Koalisi Seni Indonesia.
Segala usaha yang dilakukan para relawan Lakoat.Kujawas membuktikan bahwa seni dan budaya terkait erat dengan sandaran ekonomi bagi masyarakat Mollo. Keunikan makanan, hasil kriya, dan cerita-cerita sejarah yang telah lama dimiliki warga menyimpan potensi yang tidak kecil. Warga Mollo kini mulai jeli mengamati potensinya dan mampu mengemasnya agar relevan dengan zaman. Selain itu, dengan lebih mengenal budaya mereka sendiri, warga bisa menjadi lebih kuat mempertahankan kehidupan sehingga tidak tergoda jebakan eksploitasi yang dapat merugikan mereka.

*Artikel “Budaya adalah Kekuatan Ekonomi” merupakan bagian dari buku Dampak Seni di Masyarakat terbitan Koalisi Seni Indonesia. Buku bisa dibeli dengan mengirimkan surel ke sekretariat@koalisiseni.or.id.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar