POS KUPANG.COM, KAPAN -- Setahun sudah komunitas Lakoat Kujawas bertumbuh bersama warga di Desa Taiftob, KecamatanMollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Lakoat Kujawas digagas oleh Dicky Senda, penulis dan pegiat komunitas asal Mollo 10 Juni 2016, di kampung halamannya Desa Taiftob bersama dengan warga desa khususnya anak dan kaum muda, belasan orang relawan muda dari Kapan, SoE dan Kupang.
Nama Lakoat Kujawas diambil dari dua nama buah yang selalu lekat dengan memori masa kecil anak-anak Mollo: lakoat atau loquat atau buah biwah dan kujawas atau jambu biji. Nama tersebut merepresentasikan mimpi dan harapan generasi muda untuk hidup lebih baik, dimulai dari kampung halaman.
Lakoat Kujawas sebagaimana ditulis Dicky Senda dalam rilis yang diterima Pos Kupang, Senin (14/8/2017), mengintegrasikan komunitas kesenian dengan perpustakaan warga, ruang arsip dan kerja kolaborasi dan kewirausahaan sosial (social enterprise), berkolaborasi dengan petani dan perempuan penenun Mollo.
Tujuannya, melalui kesenian, literasi dan kewiraan sosial generasi muda Mollo mampu berkreativitas, mengembangkan diri dan potensi yang ada di lingkungan mereka.
Setahun bergiat bersama warga dan para relawan, mereka maknai sebagai kesempatan untuk belajar dan bertumbuh bersama dalam semangat kerja kolaborasi dan solidaritas.
Semangat inilah yang mendorong lahirnya proyek workshop fotografi `Ketong Bisa' yang melibatkan 15 remaja desa Taiftob dengan teman-teman fotografer dari SekolahMUSA dan Gadgetgrapher Kupang.
Selama enam pekan para remaja ini belajar teknik dasar dalam fotografi dan berkesempatan untuk berkeliling kampung halaman mereka, mewawancarai warga dan membuat foto dengan pendekatan foto bercerita (photo story).
Para relawan ini sepakat bahwa lewat kesempatan belajar fotografi, kelima belas remaja ini bisa mengenal diri mereka sendiri, mengenal kampung halaman secara lebih dekat, menyadari segala potensi yang ada dan bagaimana segala sesuatu yang datang dari kampung halaman mampu menumbuhkan rasa percaya diri dan identitas yang kuat sebagai generasi muda Mollo.
Diakhir program, para remaja dan pengajar sepakat untuk membuat sebuah pameran foto yang bisa menampilkan karya mereka. Tidak hanya foto namun juga cerita di balik pembuatan foto-foto tersebut.
Penulis cerpen asal SoE, Sandra Olivia Frans, memberi pelatihan menulis kreatif di sela pelatihan fotografi tersebut. Hasil tulisan itu yang ditempelkan bersama dengan foto-foto mereka.
Bersamaan dengan workshop `Ketong Bisa', Lakoat.Kujawas yang lahir sebagai ruang arsip warga dan ruang kerja kolaborasi sedang bersemangat mengumpulkan berbagai tulisan, foto dan dokumen sejarah lainnya terkait Mollo.
Dibantu oleh beberapa teman blogger dan sejarawan NTT, seperti Almasatie, Matheos Viktor Messakh dan Sarlota N Sipa akhirnya terkumpul puluhan foto sejarah Mollo yang kemudian menjadi arsip Komunitas Lakoat.Kujawas.
Randiano Tamelan, ketua program Seni dan Literasi berharap Lakoat.Kujawas bisa menjadi salah satu referensi ketika orang ingin mengetahui berbagai hal tentang Mollo.
Selama satu tahun bergiat bersama, terkumpul juga beberapa dokumentasi foto dan video hasil kerja kolaborasi Lakoat.Kujawas dengan teman-teman peneliti, mahasiswa, dosen, seniman dan traveler yang pernah berkunjung ke Mollo.
Mollo Panggil Pulang menjadi judul dari pameran arsip pertama di komunitas Lakoat.Kujawas. Sebuah ajakan untuk pulang ke kampung halaman dan melihat segala potensi yang ada dengan optimis.
Mollo Panggil Pulang adalah kesempatan untuk melihat kembali sejarah Mollo yang begitu panjang dan kaya, jelas Dicky Senda, direktur program komunitas.
Pameran arsip ini sudah dibuka hari Sabtu, 12 Agustus 2015 dan akan berakhir Kamis, 17 Agustus 2017. Pameran buka setiap hari jam 10 pagi hingga jam 5 sore, bertempat di kantor Camat MolloUtara yang lama di Kapan.
Di luar dugaan para fasilitator pelatihan, para remaja ini menampilkan karya yang luar biasa. Sederhana namun punya pesan yang dalam. Di ujung pelatihan, para remaja ini diperbolehkan untuk membawa kamera poket dan DSLR hasil pinjaman dari 8 relawan di Kupang, ke rumah.
Mereka diminta untuk memotret keseharian hidup mereka. Memotret dan menulis cerita tentang binatang kesayangan, bunga-bunga koleksi orang tua, kebun dan perpustakaan mereka.
"Saya tak menyangka, hasil foto dari Resi-salah satu peserta paling kecil ini-menawan hati saya," ungkap Danny Wetangterah, dari SekolahMUSA yang mengkurasi karya 15 remaja ini.
Menurut Wetangterah, Resi memilih memotret tentang ayahnya yang seorang penjahit di desa Taiftob. Resi memilih melihat dunianya lewat foto tentang ayahnya.
Resi memilih simbol-simbol seperti mesin jahit, benang, gunting dan potongan kain dari apa yang dia lihat sehari-hari. Bagi saya, pesan-pesan dalam foto-fotonya sangat dalam, jelasnya. "Mereka benar-benar tak terduga!" ucap pria yang biasa disapa DW ini bersemangat.
Pengunjung pameran, Romo Jimmy Kewohon, memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada para remaja ini. Romo Jimmy berkeliling ke setiap foto dan melakukan diskusi ringan dengan para pemilik karya foto.
"Selamat kepada Lakoat.Kujawas, telah menjadi ruang baru bagi generasi muda untuk berkesenian, menyalurkan minat dan bakat mereka," ungkap pastor yang tinggal di desa Taiftob.
Findy Lengga (13 tahun), warga desa Taiftob yang terlibat dalam pameran Mollo Panggil Pulang, menulis kebanggannya bisa belajar foto.
"Saya sangat senang belajar fotografi. Dari yang sebelumnya tidak tahu sama sekali cara mengoperasikan kamera hingga kini saya jadi tahu cara menggunakan kamera dengan lumayan baik. Mengetahui teknik dasar fotografi dan komposi dasarnya membuat saya sadar bahwa ini adalah proses belajar yang tidak akan pernah selesai. Saya pribadi merasa bahwa belajar fotografi itu mampu melatih kesabaran kita sekaligus menambah wawasan," kata Findy.
Resi Nati (11 tahun) dalam tulisannya mengungkapkan sebuah keinginan untuk bisa mengulangi pengalaman belajar fotografi ini.
"Saya ingin memotret rumah. Rumah adalah tempat yang melindungi saya, tempat keluarga saya berkumpul. Di rumah, ada begitu banyak orang-orang yang saya sayangi. Dan dari pengalaman belajar memotret selama ini, saya sudah berhasil memotret pekerjaan bapak saya yaitu menjahit."
Almastie, blogger asal Ambon yang beberapa tahun terkhir ini menetap di Labuan Bajo mengungkapkan rasa bangganya bisa terlibat dalam proyek arsip Lakoat.Kujawas.
"Awalnya saya cuma mengenal Kupang. Mollo bagi saya daerah yang sangat jauh dan tak terpikirkan sama sekali," ujarnya.
Menurut Almascatie, ia kemudian sadar setelah menelusuri foto-foto sejarah Mollo di situs website KITLV dan Museum Tropen, dua ruang arsip milik Belanda.
"Saya akhirnya sadar, Mollo mungkin terabaikan dalam peta, namun pada sejarahnya, wilayah ini memiliki kekuatan besar yang menarik berbagai bangsa untuk datang ke sana," demikian Almastie.
Pameran ini masih berlangsung di Kapan hingga tanggal 17 Agustus 2017. Selain foto karya remaja Taiftob, dipamerkan juga foto karya dua traveler yang pernah berkunjung dan meliput tentang wisataMollo, Valentino Luis dan John Go.
Sementara foto sejarah yang berhasil dikurasi Matheos Messakh, Almascatie dan Sarlota Sipa banyak menunjukkan sosok Krayer Van Aalts, pendeta Belanda yang pernah bertugas di Kapan tahun 1916 -1922. Termasuk juga foto pemukiman Belanda di Kapan, foto Raja Mollo, Lay A Koen dan beberapa foto lansekap alamMollo. (*/osi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar