Pameran berlangsung selama 8 hari
Pameran mendapat respon positif dari Camat, Kepala Desa Taiftob dan warga Mollo
Pameran melibatkan SekolahMUSA, Dusun Flobamora, GadgetGrapher, FSP, dll
Laporan keuangan klik di sini.
***
KAPAN-- Setahun sudah komunitas Lakoat.Kujawas bertumbuh bersama warga di desa Taiftob, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Lakoat.Kujawas digagas oleh Dicky Senda, penulis dan pegiat komunitas asal Mollo 10 Juni 2016, di kampung halamannya desa Taiftob bersama dengan warga desa khususnya anak dan kaum muda, belasan orang relawan muda dari Kapan, SoE dan Kupang. Nama Lakoat.Kujawas sendiri diambil dari dua nama buah yang selalu lekat dengan memori masa kecil anak-anak Mollo: lakoat atau loquat atau buah biwah dan kujawas atau jambu biji. Nama tersebut merepresentasikan mimpi dan harapan generasi muda untuk hidup lebih baik, dimulai dari kampung halaman. Lakoat.Kujawas mengintegrasikan komunitas kesenian dengan perpustakaan warga, ruang arsip dan kerja kolaborasi dan kewirausahaan sosial (social enterprise), berkolaborasi dengan petani dan perempuan penenun Mollo. Tujuannya, melalui kesenian, literasi dan kewiraan sosial generasi muda Mollo mampu berkreativitas, mengembangkan diri dan potensi yang ada di lingkungan mereka.
Setahun
bergiat bersama warga dan para relawan, mereka maknai sebagai kesempatan untuk
belajar dan bertumbuh bersama dalam semangat kerja kolaborasi dan solidaritas.
Semangat inilah yang mendorong lahirnya proyek workshop fotografi ‘Ketong Bisa’
yang melibatkan 15 remaja desa Taiftob dengan teman-teman fotografer dari
SekolahMUSA dan Gadgetgrapher Kupang. Selama 6 pekan para remaja ini belajar
teknik dasar dalam fotografi dan berkesempatan untuk berkeliling kampung
halaman mereka, mewawancarai warga dan membuat foto dengan pendekatan foto
bercerita (photo story). Para relawan
ini sepakat bahwa lewat kesempatan belajar fotografi, kelima belas remaja ini
bisa mengenal diri mereka sendiri, mengenal kampung halaman secara lebih dekat,
menyadari segala potensi yang ada dan bagaimana segala sesuatu yang datang dari
kampung halaman mampu menumbuhkan rasa percaya diri dan identitas yang kuat sebagai
generasi muda Mollo. Diakhir program, para remaja dan pengajar sepakat untuk
membuat sebuah pameran foto yang bisa menampilkan karya mereka. Tidak hanya
foto namun juga cerita dibalik pembuatan foto-foto tersebut. Penulis cerpen
asal SoE, Sandra Olivia Frans, memberi pelatihan menulis kreatif di sela
pelatihan fotografi tersebut. Hasil tulisan itu yang ditempelkan bersama dengan
foto-foto mereka.
Bersamaan
dengan workshop ‘Ketong Bisa’, Lakoat.Kujawas yang lahir sebagai ruang arsip
warga dan ruang kerja kolaborasi sedang bersemangat mengumpulkan berbagai
tulisan, foto dan dokumen sejarah lainnya terkait Mollo. Dibantu oleh beberapa
teman blogger dan sejarawan NTT,
seperti Almasatie, Matheos Viktor Messakh dan Sarlota N Sipa akhirnya terkumpul
puluhan foto sejarah Mollo yang kemudian menjadi arsip Komunitas
Lakoat.Kujawas. Randiano Tamelan, ketua program Seni dan Literasi berharap Lakoat.Kujawas
bisa menjadi salah satu referensi ketika orang ingin mengetahui berbagai hal
tentang Mollo. Selama satu tahun bergiat bersama, terkumpul juga beberapa
dokumentasi foto dan video hasil kerja kolaborasi Lakoat.Kujawas dengan
teman-teman peneliti, mahasiswa, dosen, seniman dan traveler yang pernah
berkunjung ke Mollo.
Mollo
Panggil Pulang menjadi judul dari pameran arsip pertama di komunitas
Lakoat.Kujawas. Sebuah ajakan untuk pulang ke kampung halaman dan melihat
segala potensi yang ada dengan optimis. Mollo Panggil Pulang adalah kesempatan
untuk melihat kembali sejarah Mollo yang begitu panjang dan kaya, jelas Dicky
Senda, direktur program komunitas. Pameran arsip ini sendiri sudah dibuka hari
Sabtu, 12 Agustus 2015 dan akan berakhir Kamis, 17 Agustus 2017. Pameran buka
setiap hari jam 10 pagi hingga jam 5 sore, bertempat di kantor Camat Mollo
Utara yang lama di Kapan.
Di
luar dugaan para fasilitator pelatihan, para remaja ini menampilkan karya yang
luar biasa. Sederhana namun punya pesan yang dalam. Di ujung pelatihan, para
remaja ini diperbolehkan untuk membawa kamera poket dan DSLR hasil pinjaman
dari 8 relawan di Kupang, ke rumah. Mereka diminta untuk memotret keseharian
hidup mereka. Memotret dan menulis cerita tentang binatang kesayangan,
bunga-bunga koleksi orang tua, kebun dan perpustakaan mereka.
“Saya
tak menyangka, hasil foto dari Resi—salah satu peserta paling kecil ini—menawan
hati saya,” ungkap Danny Wetangterah, dari SekolahMUSA yang mengkurasi karya 15
remaja ini. Menurut Wetangterah, Resi memilih memotret tentang ayahnya yang
seorang penjahit di desa Taiftob. Resi memilih melihat dunianya lewat foto
tentang ayahnya. Resi memilih simbol-simbol seperti mesin jahit, benang,
gunting dan potongan kain dari apa yang dia lihat sehari-hari. Bagi saya,
pesan-pesan dalam foto-fotonya sangat dalam, jelasnya. “Mereka benar-benar tak
terduga!” ucap pria yang biasa disapa DW ini bersemangat.
Sementara
itu, salah satu pengunjung pameran, Romo Jimmy Kewohon, memberikan apresiasi
setinggi-tingginya kepada para remaja ini. Romo Jimmy berkeliling ke setiap
foto dan melakukan diskusi ringan dengan para pemilik karya foto. “Selamat
kepada Lakoat.Kujawas, telah menjadi ruang baru bagi generasi muda untuk
berkesenian, menyalurkan minat dan bakat mereka,” ungkap pastor yang tinggal di
desa Taiftob.
Findy
Lengga (13 tahun) salah satu warga desa Taiftob yang terlibat dalam pameran
Mollo Panggil Pulang, menulis kebanggannya bisa belajar foto. “SAYA sangat
senang belajar fotografi. Dari yang sebelumnya tidak tahu sama sekali cara
mengoperasikan kamera hingga kini saya jadi tahu cara menggunakan kamera dengan
lumayan baik. Mengetahui teknik dasar fotografi dan komposi dasarnya membuat
saya sadar bahwa ini adalah proses belajar yang tidak akan pernah selesai. Saya
pribadi merasa bahwa belajar fotografi itu mampu melatih kesabaran kita
sekaligus menambah wawasan.” Sementara itu, Resi Nati (11 tahun) dalam
tulisannya mengungkapkan sebuah keinginan untuk bisa mengulangi pengalaman
belajar fotografi ini. “Saya ingin memotret rumah. Rumah adalah tempat yang
melindungi saya, tempat keluarga saya berkumpul. Di rumah, ada begitu banyak
orang-orang yang saya sayangi. Dan dari pengalaman belajar memotret selama ini,
saya sudah berhasil memotret pekerjaan bapak saya yaitu menjahit.”
Almastie,
blogger asal Ambon yang beberapa tahun terkhir ini menetap di Labuan Bajo
mengungkapkan rasa bangganya bisa terlibat dalam proyek arsip Lakoat.Kujawas.
“Awalnya saya cuma mengenal Kupang. Mollo bagi saya daerah yang sangat jauh dan
tak terpikirkan sama sekali.” Menurut Almascatie, ia kemudian sadar setelah
menelusuri foto-foto sejarah Mollo di situs website KITLV dan Museum Tropen,
dua ruang arsip milik Belanda. “Saya akhirnya sadar, Mollo mungkin terabaikan
dalam peta, namun pada sejarahnya, wilayah ini memiliki kekuatan besar yang
menarik berbagai bangsa untuk datang ke sana.”
Pameran
ini berlangsung di Kapan tanggal 10 hingga tanggal 17 Agustus 2017. Selain foto
karya remaja Taiftob, dipamerkan juga foto karya dua traveler yang pernah
berkunjung dan meliput tentang wisata Mollo, Valentino Luis dan John Go.
Sementara foto sejarah yang berhasil dikurasi Matheos Messakh, Almascatie dan
Sarlota Sipa banyak menunjukkan sosok Krayer Van Aalts, pendeta Belanda yang
pernah bertugas di Kapan tahun 1916 – 1922. Termasuk juga foto pemukiman
Belanda di Kapan, foto Raja Mollo, Lay A Koen dan beberapa foto lansekap alam
Mollo.
Terima kasih kepada semua yang mendukung, terutama kepada Kak Grace Susetyo dan Suami, kak Okke Prasetyowati, Pater Fery Seran, Alia Vital, dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar