Kamis, 22 Februari 2018

Orang Muda dan Ketahanan Pangan: Sebuah Cara Pandang Terkait Ekosistem dan Indentitas Diri

Dicky Senda, founder Lakoat.Kujawas

Saya belum seutuhnya menjadi petani, tapi di KTP elektronik terbaru, saya menaruh kata petani di kolom keterangan pekerjaan. Saya sarjana psikologi yang bercita-cita jadi petani, seperti bapak saya yang setelah pensiun dari kepolisian di usia muda (48 tahun, masih aturan lama), memutuskan jadi petani ketimbang menerima tawaran pekerjaan lain, seperti kepala desa atau satpam di bank.
workshop farmentasi buah-buah lokal
Setelah hampir 5 tahun tinggal di kota dan bekerja sebagai konselor pendidikan dan aktif di berbagai komunitas orang muda, saya memutuskan pulang kampung salah satunya adalah untuk mewujudkan mimpi saya jadi petani. Namun untuk sampai ke jalan itu, saya harus mengatur strategi dan langkah saya sendiri. Sebuah pilihan sadar dilihat dari kemampuan dan kemauan diri, passion dan purpose saya apa. 

Menyusun tujuan hidup itu penting! Tapi yang sonde kalah penting, melakukan sesuatu yang benar-benar kita sukai dan jiwai.
Sejak kuliah saya memimpikan punya sebuah sekolah alam atau bahasa keren sekarang green school. Sebuah lembaga pendidikan dasar, setingkat TK dan SD, yang ruang belajarnya adalah alam semesta, lingkungan dan budaya yang melingkupinya. Ruang belajar yang tanpa batas ruang kelas dan pakaian seragam, misalnya.
Latar belakang saya yang lain adalah seniman, khususnya penulis sastra. Saya menulis puisi dan cerpen yang dekat dengan kebudayaan lokal dan bahasa ibu saya, Timor Dawan. Di wilayah Mollo tempat saya lahir dan besar, berbagai dongeng, cerita rakyat dan falsafah hidup dituturkan lewat kesenian. Lewat tari bonet leluhur mengajarkan kepada anak cucu cara bersahabat dengan alam, mempersiapkan diri menghadapi musim tanam hingga bersyukur kepada penguasa langit dan bumi atas segala pemeliharaan dari masa ke masa. Di sini saya bukan saja mendapati hubungan baik antara kesenian dan pertanian, saya mendapati lebih dari itu. Bertani bukan sekadar bekerja untuk bertahan hidup yang cenderung egosentris. Bertani juga ikut memelihara kelestarian alam semesta, memelihara kelestarian seni budaya (atau sebaliknya seni memelihara kelestarian budaya pertanian) dan membantu menghidupi banyak pihak.
Ketika pulang kampung, dua hal mendasar yang saya sasar adalah membangun perpustakaan warga dengan memanfaatkan gudang di belakang rumah dan ratusan koleksi buku bacaan yang sudah dikumpulkan sejak kuliah. Selain itu, saya mulai menyasar potensi pertanian yang ada di Mollo, dimulai dari kebun kopi milik bapak saya yang lama tidak terurus. Mimpi paling baik memang harus dimulai di rumah sendiri.
workshop bersama mas Geger dari Lifepatch
Keluarga besar saya suka membaca sekaligus suka memasak. Kami begitu mencintai buku dan proses literasi yang sama kuatnya dengan memasak dan makan bersama. Saya, beberapa saudara dan keponakan adalah penulis sastra aktif, sementara nenek saya membuka warung pertama di Mollo akhir tahun 1950an. Dari nenek dan mama, saya mencintai kuliner. Dari orang tua yang suka membaca (dan mendongeng) serta memasak, saya menekuni proses kreatif di bidang kepenulisan dan kuliner. Keduanya saya melakukan secara otodidak. Ketika melakukan riset budaya untuk menulis sastra, saya juga mengarsipkan berbagai tradisi, cerita rakyat bahkan resep kuliner. Saya jadi tahu banyak bagaimana kondisi alam ikut memengaruhi cara orang Mollo mengelola pangan mereka. Sambal lu'at misalnya, adalah cara orang Mollo bisa makan sambal sepanjang tahun meski bukan di musim tanam cabai. Sambal lu'at yang beragam di Mollo mulai dari sambal daun sipa (peterseli Timor), sambal rebung, sambal kulit jeruk, sambal kembang turi, sambal paria, dll,  mengindikasikan bagaimana proses ketahanan pangan itu terjadi secara simpel, lewat proses farmentasi sederhana menyesuaikan setiap musim tanaman yang ada. Saya menulis kembali semua resep kuliner keluarga langsung dari mama. Dari semua proses ini, saya sadar bahwa Mollo begitu kaya akan tradisi, budaya, sejarah, sastra, hasil pertanian bahkan kulinernya. Dan semuanya saling kait mengait.
kelompok tenun kami di Mollo
Karena kait mengait itu, saya dengan mantap, dibantu banyak sekali teman dan jaringan (yang saya bentuk selama 5 tahun tinggal dan bekerja di Kupang juga Jogjakarta) membangun kewirausahaan sosial bernama Lakoat.Kujawas. Prosesnya panjang, dimulai sejak saya kuliah. Modalnya cuma modal sosial yang saya bangun sejak kuliah. Kait mengait antara kesenian, kebudayaan dan pertanian, saya akhirnya menemukan satu formula untuk Lakoat.Kujawas: konsep intergasi.  
Lakoat.Kujawas adalah wadah bagi anak dan orang muda, relawan dari berbagai disiplin ilmu, kelompok perempuan dan para petani, yang mengintegrasikan kewirausahaan sosial dengan komunitas kesenian, perpustakaan warga, ruang kerja kolaborasi, ruang arsip dan homestay.  
Di Lakoat.Kujawas kami memulai dari langkah sederhana: bagaimana agar generasi muda Mollo, punya rasa percaya diri dan indentitas diri yang kuat. Fokus kami adalah Kesenian, literasi dan pertanian. 
Mengapa harus integratif? Mengapa harus rasa percaya dan idenditas diri?
Menurut saya untuk membuat sebuah aksi berjalan baik dan sustain, ekosistemnya harus siap dan terpadu. Saya mulai Lakoat.Kujawas di desa kecil bernama Taiftob di pinggiran kota Kapan, ibu kota kecamatan Mollo Utara. Desa yang bagi warganya sendiri dianggap tidak punya potensi: air bersih susah, hasil pertanian minim, dan seterusnya. Saya kira ada masalah dengan cara pandang, dan ditelusuri lebih lanjut, ada masalah juga dengan rasa pecaya diri dan identitas diri yang kurang. Oke, air bersih memang sulit, tapi tidak kering-kering amat. Tapi apakah hanya itu lalu kita dianggap (atau mengganggap diri) tertinggal?Alih-alih mencari potensi diri, kita selalu sibuk dengan kelemahan diri.
Agustus 2016 saya mengajak beberapa mahasiswa Komunikasi Undana untuk melakukan proses pemetaan potensi desa kami. Hasilnya memperkuat rasa percaya saya bahwa Taiftob ini tidak ketinggalan apalagi miskin. Ada sarana pendidikan dari TK hingga SD, ada banyak kebun sirih, ada banyak lahan tidur dan mata air, ada banyak kelompok tenun yang mati suri, ada banyak anak-anak dan orang muda tapi minim akses untuk pengembangan diri (padahal gereja punya aula yang bisa dipakai untuk pentas seni dan nonton film, sekolah punya lapangan untuk olahraga). Saat itu juga kami membuka perpustakaan. Ratusan anggota terdaftar kurang dari sebulan. Bukan saja anak-anak, kelompok mama bisa meminjam buku resep dan kelompok bapak bisa meminjam buku terkait teknologi pertanian dan perkebunan.
Ekosistem harus dibangun, melibatkan semua elemen yang ada di Taiftob dengan anak/generasi muda sebagai titik tengahnya. Kami berjejaring dengan sekolah, pemerintah desa dan gereja. Satu dua perempuan penenun yang awalnya sudah hopeless karena pasar tradisional yang menjual tenun lesu, kami tawarkan dengan konsep toko online di Instagram @lkjws.co dengan sistem 10-15% hasil penjualan untuk Lakoat.Kujawas. Hasil riset kami terkait keragaman sambal lu’at di Mollo mulai kami produksi berkolaborasi dengan kelompok tani yang menanam cabai. Kebun kopi mulai kami revitalisasi, proses pasca panen kopi kami perbaiki sekaligus mulai memperkenalkan kopi Mollo ke publik. Begitu juga komunikasi kami bangun dengan kelompok petani madu dari desa lain. Riset kami terkait budaya panen madu hutan itu yang kami jual beserta kemasan yang lebih baik sehingga menjadi  nilai baru yang khas bagi produk madu hutan dari Mollo. Kami mulai melakukan penjajakan dengan desa lain untuk mengembangkan model community based tourism dengan mengunggulkan wisata alam dan wisata pangan lokal dengan sistem sharing economy. Sistem yang sama juga kami berlakukan dengan kelompok penenun dan petani madu.
Sembari ekosistem dibangun, rasa percaya diri dan identitas diri generasi muda Mollo kami perkuat lewat berbagai kegiatan kesenian dan literasi. Kelas bahasa Inggris, lokakarya tari dan teater, nonton film dan pentas seni, festival seni, pameran arsip dan festival pangan lokal. Semua kegiatan kesenian dan literasi yang dilakukan kami sisipkan dengan seni tradisi, kami kaitkan dengan budaya pertanian orang Mollo dan kami sisipkan juga dengan informasi sejarah dan budaya Mollo. Bahwa idenditas orang Mollo ya orang gunung yang dekat dengan alam dan aktivitas pertanian/perkebunan.
kelas menulis kreatif To The Lighthouse di Mollo
Hampir dua tahun berjalan secara organik, kami merasa beruntung karena ada begitu banyak pihak yang mendukung. Belasan relawan dari berbagai profesi memberi diri dan waktu mereka untuk proses kerja kolaborasi dengan semangat solidaritas warga ini. Warga sendiri secara aktif ikut mendukung setiap aktivitas di komunitas bahkan secara swadaya ikut mengumpulkan bahan pangan lokal untuk dikonsumsi saat lokakarya teater dan bonet dilaksanakan di komunitas. Kelompok tenun mulai aktif kembali, sementara beberapa mama diajak untuk ikut memproduksi kopi biji dan bubuk dalam kemasan. Pada titik awal dan penting ini, komunitas warga hadir dari kebutuhan warga sendiri, membangun ekosistem secara swadaya dan berdasarkan kesadaran bahwa ini penting untuk menjawab kebutuhan kita sendiri dan lebih penting lagi jika semua itu dilakukan dengan rasa percaya diri yang tinggi.
Kalau tidak pede dan tidak punya identitas kuat, susaaah untuk mau tetap tinggal di kampung dan bangun kampung. Karena yang dilihat hanya kampung halaman dengan banyak persoalan. Rasa percaya diri dan identitas diri yang kuat akan menentukan cara pandang terdahap kampung halaman
Dengan cara pandang yang beragam, potensi kampung akan kelihatan sebagai berkah. Dan di Lakoat.Kujawas kami mulai membiasakan itu kepada anak-anak. Yang paling menarik salah satunya lewat festival seni Mnahat Fe’u.
Mnahat Fe’u telah memasuki tahun kedua. Ini adalah festival kecil yang mencoba menggabungkan antara tradisi panen orang Mollo dengan kesenian. Tahun lalu kami bikin workshop menulis kreatif dengan tema musim panen, kami bikin festival pangan lokal dan pentas teater dengan latar masyarakat pertanian. Para remaja desa Taiftob diajak untuk mengingat kembali tradisi lokal terkait musim panen yang mereka ketahui dan menulis kembali dalam bentuk cerita. Dan di Mnahat Fe’u kali ini, kami fokus ke buah lakoat, salah satu buah unik yang ada di Mollo. Kami baru saja menyelesaikan lokakarya farmentasi buah lakoat jadi wine bersama beberapa orang muda dan dalam waktu dekat akan bikin lokakarya pembuatan panganan berbahan lakoat sembari berdiskusi tentang ekowisata dan pertanian organik.
Lalu muncul pertanyaan terakhir, bagaimana Lakoat.Kujawas melihat peran orang muda dan ketahanan pangan di Mollo?
Artisan tenun kami dan proses pewarnaan alam
Lewat konsep kewirausahaan sosial, yang pertama, kami bawa cara pandang baru bagi warga Taiftob. Ketika desa kami berlimpah nanas musiman, kami coba bikin selai nanas dan memasarkannya di instagram. Bagi kami inovasi dalam bidang pertanian itu penting. Bagaimana tidak saja menjual bahan mentah, namun menjual produk turunannya. Produk baru tidak saja akan punya nilai ekonomi lebih, tapi juga bisa menciptakan peluang kerja baru bagi banyak orang. Produk baru bisa menjadi lebih kuat karena ada nilai baru yang ikut disematkan di sana. Misalnya, ketika menjual madu kemasan, bukan saja botol dan label yang baik kami pasang, lebih dari itu kami menjual cerita dibalik proses panen, pesan kelestarian lingkungan karena dipanen secara tradisional hingga mitos lokal terkait madu yang akan menambah nilai lebih dari produk kami kami dibanding madu lainnya. Pada titik ini, kami bukan saja membantu kelompok petani lokal untuk tetap eksis, proses panen yang tradisional itu juga punya pesan ekologis yang kuat sehingga akan sangat sejalan dengan prinsip ketahanan pangan itu sendiri. Dan lewat cerita sejarah-budaya dibalik proses panen madu itu, generasi muda Mollo akan terus terkoneksi dengan leluhur dan kampung halaman mereka sendiri. Saya kira dalam banyak contoh, proses timbal balik antara aktivitas pertanian, pemasaran hingga ketahanan pangan, sebenarnya punya hubungan mesra dengan kesenian dan kebudayaan setempat. Bahwa jika ingin memikirkan pertanian dan ketahanan pangan, kita juga harus berpikir hingga ke pemasaran, teknologi, bahkan seni-budaya yang melingkupinya. Dan komunitas Lakoat.Kujawas dengan sadar mengambil jalan itu.
Kedua, kekuatan Lakoat.Kujawas yang kedua adalah ia dimotori orang muda, ia juga menjangkau generasi muda sebagai sasarannya. Komunitas ini tumbuh bersama dengan fenomena kerja kolaborasi (co-working), solidaritas warga aktif dan volunterism di kalangan orang muda yang begitu kuat, dipicu oleh berkembang pesatnya penggunaan media sosial di kalangan orang muda itu sendiri. Sebagian besar relawan di komunitas kami adalah orang muda dan sasaran utama kami adalah generasi muda, maka membicarakan ketahanan pangan harusnya sudah melampaui segala konsep dan teori. Ini sudah harus menjadi aksi dan masuk ke dalam gaya hidup generasi muda itu sendiri, menurut saya. Saya ingat betul bagaimana saya yang suka memasak bagi para relawan di komunitas, dengan bersemangat pula memperkenalkan ke mereka berbagai cara pengolahan pangan lokal. Saya selalu memasak dan berbagai cerita dibalik setiap panganan, mencoba memperkaya perspektif teman-teman saya tentang kekayaan bahan pangan dan kekayaan pengetahuan cara mengelola bahan pangan sehingga terbebas dari musim paceklik. Dan itu berhasil karena kami melakukannya di sela berbagai aktivitas kreatif di komunitas, mereka tahu betul bahwa semua bahan pangan itu datang dari kebun komunitas atau dibeli dari petani yang notabene juga ikut bergiat di komunitas dan lebih penting lagi, yang mereka makan itu sehat, tanpa banyak pupuk, tanpa banyak proses pengawetan. Lagi-lagi saya harus bilang bahwa jika sebuah gerakan dilakukan dalam sebuah ekosistem yang terpadu dan integratif, dampaknya bisa sangat luas dan dalam.
Informasi lain terkait Lakoat.Kujawas bisa diikuti di Instagram @lakoat.kujawas dan toko online kami di @lkjws.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar