Dicky Senda, founder
Lakoat.Kujawas
Saya
belum seutuhnya menjadi petani, tapi di KTP elektronik terbaru, saya menaruh
kata petani di kolom keterangan pekerjaan. Saya sarjana psikologi yang
bercita-cita jadi petani, seperti bapak saya yang setelah pensiun dari
kepolisian di usia muda (48 tahun, masih aturan lama), memutuskan jadi petani
ketimbang menerima tawaran pekerjaan lain, seperti kepala desa atau satpam di
bank.
workshop farmentasi buah-buah lokal |
Setelah
hampir 5 tahun tinggal di kota dan bekerja sebagai konselor pendidikan dan
aktif di berbagai komunitas orang muda, saya memutuskan pulang kampung salah
satunya adalah untuk mewujudkan mimpi saya jadi petani. Namun untuk sampai ke
jalan itu, saya harus mengatur strategi dan langkah saya sendiri. Sebuah pilihan
sadar dilihat dari kemampuan dan kemauan diri, passion dan purpose saya apa.
Menyusun tujuan hidup itu penting! Tapi yang sonde kalah penting, melakukan sesuatu yang benar-benar kita sukai dan jiwai.
Sejak
kuliah saya memimpikan punya sebuah sekolah alam atau bahasa keren sekarang green school. Sebuah lembaga pendidikan
dasar, setingkat TK dan SD, yang ruang belajarnya adalah alam semesta,
lingkungan dan budaya yang melingkupinya. Ruang belajar yang tanpa batas ruang
kelas dan pakaian seragam, misalnya.
Latar
belakang saya yang lain adalah seniman, khususnya penulis sastra. Saya menulis puisi dan cerpen yang
dekat dengan kebudayaan lokal dan bahasa ibu saya, Timor Dawan. Di wilayah
Mollo tempat saya lahir dan besar, berbagai dongeng, cerita rakyat dan falsafah
hidup dituturkan lewat kesenian. Lewat tari bonet
leluhur mengajarkan kepada anak cucu cara bersahabat dengan alam,
mempersiapkan diri menghadapi musim tanam hingga bersyukur kepada penguasa
langit dan bumi atas segala pemeliharaan dari masa ke masa. Di sini saya bukan
saja mendapati hubungan baik antara kesenian dan pertanian, saya mendapati
lebih dari itu. Bertani bukan sekadar bekerja untuk bertahan hidup yang
cenderung egosentris. Bertani juga ikut memelihara kelestarian alam semesta, memelihara
kelestarian seni budaya (atau sebaliknya seni memelihara kelestarian budaya
pertanian) dan membantu menghidupi banyak pihak.
Ketika
pulang kampung, dua hal mendasar yang saya sasar adalah membangun perpustakaan
warga dengan memanfaatkan gudang di belakang rumah dan ratusan koleksi buku
bacaan yang sudah dikumpulkan sejak kuliah. Selain itu, saya mulai menyasar
potensi pertanian yang ada di Mollo, dimulai dari kebun kopi milik bapak saya
yang lama tidak terurus. Mimpi paling baik memang harus dimulai di rumah
sendiri.
workshop bersama mas Geger dari Lifepatch |
Keluarga
besar saya suka membaca sekaligus suka memasak. Kami begitu mencintai buku dan
proses literasi yang sama kuatnya dengan memasak dan makan bersama. Saya,
beberapa saudara dan keponakan adalah penulis sastra aktif, sementara nenek
saya membuka warung pertama di Mollo akhir tahun 1950an. Dari nenek dan mama,
saya mencintai kuliner. Dari orang tua yang suka membaca (dan mendongeng) serta
memasak, saya menekuni proses kreatif di bidang kepenulisan dan kuliner. Keduanya
saya melakukan secara otodidak. Ketika melakukan riset budaya untuk menulis
sastra, saya juga mengarsipkan berbagai tradisi, cerita rakyat bahkan resep
kuliner. Saya jadi tahu banyak bagaimana kondisi alam ikut memengaruhi cara orang Mollo mengelola pangan mereka. Sambal lu'at misalnya, adalah cara orang Mollo bisa makan sambal sepanjang tahun meski bukan di musim tanam cabai. Sambal lu'at yang beragam di Mollo mulai dari sambal daun sipa (peterseli Timor), sambal rebung, sambal kulit jeruk, sambal kembang turi, sambal paria, dll, mengindikasikan bagaimana proses ketahanan pangan itu terjadi secara simpel, lewat proses farmentasi sederhana menyesuaikan setiap musim tanaman yang ada. Saya menulis kembali semua resep kuliner keluarga langsung dari mama. Dari
semua proses ini, saya sadar bahwa Mollo begitu kaya akan tradisi, budaya,
sejarah, sastra, hasil pertanian bahkan kulinernya. Dan semuanya saling kait
mengait.
kelompok tenun kami di Mollo |
Karena
kait mengait itu, saya dengan mantap, dibantu banyak sekali teman dan jaringan
(yang saya bentuk selama 5 tahun tinggal dan bekerja di Kupang juga Jogjakarta)
membangun kewirausahaan sosial bernama Lakoat.Kujawas. Prosesnya panjang,
dimulai sejak saya kuliah. Modalnya cuma modal sosial yang saya bangun sejak
kuliah. Kait mengait antara kesenian, kebudayaan dan pertanian, saya akhirnya
menemukan satu formula untuk Lakoat.Kujawas: konsep intergasi.
Lakoat.Kujawas adalah wadah bagi anak dan orang muda, relawan dari berbagai disiplin ilmu, kelompok perempuan dan para petani, yang mengintegrasikan kewirausahaan sosial dengan komunitas kesenian, perpustakaan warga, ruang kerja kolaborasi, ruang arsip dan homestay.
Di Lakoat.Kujawas
kami memulai dari langkah sederhana: bagaimana agar generasi muda Mollo, punya
rasa percaya diri dan indentitas diri yang kuat. Fokus kami adalah Kesenian, literasi dan pertanian.
Mengapa
harus integratif? Mengapa harus rasa percaya dan idenditas diri?
Menurut
saya untuk membuat sebuah aksi berjalan baik dan sustain, ekosistemnya harus
siap dan terpadu. Saya mulai Lakoat.Kujawas di desa kecil bernama Taiftob di
pinggiran kota Kapan, ibu kota kecamatan Mollo Utara. Desa yang bagi warganya
sendiri dianggap tidak punya potensi: air bersih susah, hasil pertanian minim,
dan seterusnya. Saya kira ada masalah dengan cara pandang, dan ditelusuri lebih
lanjut, ada masalah juga dengan rasa pecaya diri dan identitas diri yang kurang. Oke, air bersih memang sulit, tapi tidak kering-kering amat. Tapi
apakah hanya itu lalu kita dianggap (atau mengganggap diri) tertinggal?Alih-alih mencari potensi diri, kita selalu sibuk dengan kelemahan diri.
Agustus
2016 saya mengajak beberapa mahasiswa Komunikasi Undana untuk melakukan proses
pemetaan potensi desa kami. Hasilnya memperkuat rasa percaya saya bahwa Taiftob
ini tidak ketinggalan apalagi miskin. Ada sarana pendidikan dari TK hingga SD,
ada banyak kebun sirih, ada banyak lahan tidur dan mata air, ada banyak
kelompok tenun yang mati suri, ada banyak anak-anak dan orang muda tapi minim
akses untuk pengembangan diri (padahal gereja punya aula yang bisa dipakai
untuk pentas seni dan nonton film, sekolah punya lapangan untuk olahraga). Saat
itu juga kami membuka perpustakaan. Ratusan anggota terdaftar kurang dari
sebulan. Bukan saja anak-anak, kelompok mama bisa meminjam buku resep dan
kelompok bapak bisa meminjam buku terkait teknologi pertanian dan perkebunan.
Ekosistem
harus dibangun, melibatkan semua elemen yang ada di Taiftob dengan
anak/generasi muda sebagai titik tengahnya. Kami berjejaring dengan sekolah,
pemerintah desa dan gereja. Satu dua perempuan penenun yang awalnya sudah hopeless karena pasar tradisional yang
menjual tenun lesu, kami tawarkan dengan konsep toko online di Instagram
@lkjws.co dengan sistem 10-15% hasil penjualan untuk Lakoat.Kujawas. Hasil riset kami terkait keragaman sambal lu’at di Mollo mulai kami
produksi berkolaborasi dengan kelompok tani yang menanam cabai. Kebun kopi
mulai kami revitalisasi, proses pasca panen kopi kami perbaiki sekaligus mulai
memperkenalkan kopi Mollo ke publik. Begitu juga komunikasi kami bangun dengan
kelompok petani madu dari desa lain. Riset kami terkait budaya panen madu hutan
itu yang kami jual beserta kemasan yang lebih baik sehingga menjadi nilai baru yang khas bagi produk madu hutan
dari Mollo. Kami mulai melakukan penjajakan dengan desa lain untuk
mengembangkan model community based
tourism dengan mengunggulkan wisata alam dan wisata pangan lokal dengan sistem
sharing economy. Sistem yang sama
juga kami berlakukan dengan kelompok penenun dan petani madu.
Sembari
ekosistem dibangun, rasa percaya diri dan identitas diri generasi muda Mollo kami perkuat lewat berbagai kegiatan kesenian dan literasi. Kelas bahasa Inggris,
lokakarya tari dan teater, nonton film dan pentas seni, festival seni, pameran
arsip dan festival pangan lokal. Semua kegiatan kesenian dan literasi yang
dilakukan kami sisipkan dengan seni tradisi, kami kaitkan dengan budaya pertanian orang Mollo dan kami sisipkan juga dengan informasi
sejarah dan budaya Mollo. Bahwa idenditas orang Mollo ya orang gunung yang
dekat dengan alam dan aktivitas pertanian/perkebunan.
kelas menulis kreatif To The Lighthouse di Mollo |
Hampir
dua tahun berjalan secara organik, kami merasa beruntung karena ada begitu
banyak pihak yang mendukung. Belasan relawan dari berbagai profesi memberi diri
dan waktu mereka untuk proses kerja kolaborasi dengan semangat solidaritas
warga ini. Warga sendiri secara aktif ikut mendukung setiap aktivitas di
komunitas bahkan secara swadaya ikut mengumpulkan bahan pangan lokal untuk
dikonsumsi saat lokakarya teater dan bonet dilaksanakan di komunitas. Kelompok tenun
mulai aktif kembali, sementara beberapa mama diajak untuk ikut memproduksi kopi
biji dan bubuk dalam kemasan. Pada titik awal dan penting ini, komunitas warga
hadir dari kebutuhan warga sendiri, membangun ekosistem secara swadaya dan
berdasarkan kesadaran bahwa ini penting untuk menjawab kebutuhan kita sendiri
dan lebih penting lagi jika semua itu dilakukan dengan rasa percaya diri yang
tinggi.
Kalau tidak pede dan tidak punya identitas kuat, susaaah untuk mau tetap tinggal di kampung dan bangun kampung. Karena yang dilihat hanya kampung halaman dengan banyak persoalan. Rasa percaya diri dan identitas diri yang kuat akan menentukan cara pandang terdahap kampung halaman.
Dengan cara pandang yang beragam, potensi kampung akan kelihatan
sebagai berkah. Dan di Lakoat.Kujawas kami mulai membiasakan itu kepada
anak-anak. Yang paling menarik salah satunya lewat festival seni Mnahat Fe’u.
Mnahat
Fe’u telah memasuki tahun kedua. Ini adalah festival kecil yang mencoba
menggabungkan antara tradisi panen orang Mollo dengan kesenian. Tahun lalu kami
bikin workshop menulis kreatif dengan tema musim panen, kami bikin festival pangan lokal dan pentas teater dengan latar masyarakat pertanian. Para remaja desa
Taiftob diajak untuk mengingat kembali tradisi lokal terkait musim panen yang
mereka ketahui dan menulis kembali dalam bentuk cerita. Dan di Mnahat Fe’u kali
ini, kami fokus ke buah lakoat, salah satu buah unik yang ada di Mollo. Kami baru
saja menyelesaikan lokakarya farmentasi buah lakoat jadi wine bersama beberapa
orang muda dan dalam waktu dekat akan bikin lokakarya pembuatan panganan
berbahan lakoat sembari berdiskusi tentang ekowisata dan pertanian organik.
Lalu muncul pertanyaan terakhir, bagaimana Lakoat.Kujawas melihat peran orang muda dan ketahanan pangan di Mollo?
Artisan tenun kami dan proses pewarnaan alam |
Lewat
konsep kewirausahaan sosial, yang pertama, kami bawa cara pandang baru bagi
warga Taiftob. Ketika desa kami berlimpah nanas musiman, kami coba bikin selai
nanas dan memasarkannya di instagram. Bagi kami inovasi dalam bidang pertanian
itu penting. Bagaimana tidak saja menjual bahan mentah, namun menjual produk
turunannya. Produk baru tidak saja akan punya nilai ekonomi lebih, tapi juga
bisa menciptakan peluang kerja baru bagi banyak orang. Produk baru bisa menjadi
lebih kuat karena ada nilai baru yang ikut disematkan di sana. Misalnya, ketika
menjual madu kemasan, bukan saja botol dan label yang baik kami pasang, lebih
dari itu kami menjual cerita dibalik proses panen, pesan kelestarian lingkungan
karena dipanen secara tradisional hingga mitos lokal terkait madu yang akan
menambah nilai lebih dari produk kami kami dibanding madu lainnya. Pada titik
ini, kami bukan saja membantu kelompok petani lokal untuk tetap eksis, proses
panen yang tradisional itu juga punya pesan ekologis yang kuat sehingga akan
sangat sejalan dengan prinsip ketahanan pangan itu sendiri. Dan lewat cerita
sejarah-budaya dibalik proses panen madu itu, generasi muda Mollo akan terus
terkoneksi dengan leluhur dan kampung halaman mereka sendiri. Saya kira dalam
banyak contoh, proses timbal balik antara aktivitas pertanian, pemasaran hingga
ketahanan pangan, sebenarnya punya hubungan mesra dengan kesenian dan
kebudayaan setempat. Bahwa jika ingin memikirkan pertanian dan ketahanan pangan,
kita juga harus berpikir hingga ke pemasaran, teknologi, bahkan seni-budaya
yang melingkupinya. Dan komunitas Lakoat.Kujawas dengan sadar mengambil jalan
itu.
Kedua,
kekuatan Lakoat.Kujawas yang kedua adalah ia dimotori orang muda, ia juga
menjangkau generasi muda sebagai sasarannya. Komunitas ini tumbuh bersama
dengan fenomena kerja kolaborasi (co-working), solidaritas warga aktif dan
volunterism di kalangan orang muda yang begitu kuat, dipicu oleh berkembang
pesatnya penggunaan media sosial di kalangan orang muda itu sendiri. Sebagian besar
relawan di komunitas kami adalah orang muda dan sasaran utama kami adalah
generasi muda, maka membicarakan ketahanan pangan harusnya sudah melampaui
segala konsep dan teori. Ini sudah harus menjadi aksi dan masuk ke dalam gaya
hidup generasi muda itu sendiri, menurut saya. Saya ingat betul bagaimana saya
yang suka memasak bagi para relawan di komunitas, dengan bersemangat pula
memperkenalkan ke mereka berbagai cara pengolahan pangan lokal. Saya selalu memasak dan berbagai cerita dibalik setiap panganan, mencoba memperkaya perspektif teman-teman saya tentang kekayaan bahan pangan dan kekayaan pengetahuan cara mengelola bahan pangan sehingga terbebas dari musim paceklik. Dan itu
berhasil karena kami melakukannya di sela berbagai aktivitas kreatif di
komunitas, mereka tahu betul bahwa semua bahan pangan itu datang dari kebun
komunitas atau dibeli dari petani yang notabene juga ikut bergiat di komunitas
dan lebih penting lagi, yang mereka makan itu sehat, tanpa banyak pupuk, tanpa
banyak proses pengawetan. Lagi-lagi saya harus bilang bahwa jika sebuah gerakan
dilakukan dalam sebuah ekosistem yang terpadu dan integratif, dampaknya bisa
sangat luas dan dalam.
Informasi
lain terkait Lakoat.Kujawas bisa diikuti di Instagram @lakoat.kujawas dan toko
online kami di @lkjws.co
Tidak ada komentar:
Posting Komentar