Minggu, 09 April 2017

Membayangkan Generasi Baru TTS Yang Bebas Dari Kotak-Kotak Sempit

Oleh Dicky Senda*

Saat penutupan festival panen Mnahat Fe'u di Lakoat.Kujawas akhir Maret lalu, saya senang akhirnya semakin banyak orang muda mengontak dan menyatakan ketertarikan mereka untuk ikut dua sesi diskusi di Lakoat.Kujawas yang memang ditujukan untuk orang-orang muda Timor Tengah Selatan. Beberapa diskusi akhirnya terjadi di sela acara penutupan festival kecil itu. Baik dengan teman-teman dari SoE yang menyempatkan diri datang ke markas kami di desa Taiftob, maupun yang mengajak diskusi lepas di whastapp atau facebook.
5 dari 8 adalah orang muda TTS: Ari Saekoko, Randi Tamelan, Rini Foa, Sonya Manafe dan Dicky Senda
Ide tentang Lakoat.Kujawas hingga visi misi sebenarnya sudah saya singgung dalam beberapa wawancara yang hasilnya bisa dibaca dalam tautan berikut (Lakoat.Kujawas, Proyek Kreatif Anak Muda NTT). Pada intinya saya sendiri juga tidak menyangka bahwa belum genap setahun merintis Lakoat.Kujawas (selanjutnya saya sebut LKJWS), progresnya ternyata melampaui rencana awal. Saya ingat betul suatu ketika saya memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai konselor pendidikan di sebuah SMP swasta di Kupang, setelah hampir 5 tahun aktif bergiat di komunitas orang muda, terlibat dalam beberapa pekerjaan yang berhubungan dengan bagaimana meningkatkan kapasitas generasi muda di NTT lewat bidang seni budaya maupun ekonomi kreatif. Dalam rentang waktu tersebut saya menyalurkan minat berkesenian, belajar jadi fasilitator, belajar mengorganisir orang muda, sekaligus membangun jaringan. Ternyata dengan aktivitas seperti itu, arah mimpi saya semakin kelihatan. Ada dua orang muda NTT yang dari mereka saya belajar banyak (bisa jadi mereka sonde sadar kalau mereka menginspirasi orang lain dan orang lain mempelajari banyak hal dari mereka). Danny Wetangterah dan Valentino Luis. Danny adalah tokoh simpul nan penting dari banyak gerakan orang muda di NTT 5 tahun terakhir. Energinya positif dan besar, seorang yang visioner, fasililitator ulung dan sangat bisa merangkul banyak kalangan. Beliau adalah orang pertama yang saya pikirkan ketika mulai menggarap proposal LKJWS. "Oke saya harus berdiskusi banyak dengan om DW." Om DW, biasa kami menyapanya. 
Nama berikutnya, sebenarnya sonde asing juga di dunia kreatif di NTT, khususnya fotografi dan travel writing. Perkenalan dengan beliau berlangsung cepat dan jarang ketemu sebenarnya, tapi ada satu momen yang mendobrak sebuah zona nyaman, bahkan terlalu sempit berpikir. Bahwa mungkin saja pencapaian saya sejauh ini ternyata tidak maksimal karena kurang berani dan total dalam mengambil sebuah keputusan. Dalam trip singkat kami dari Kupang-Mollo-Kupang, saya lebih banyak mendengar dan keberanian mengambil keputusan untuk berbuat apa yang sudah menjadi kekuatan dari dalam diri, itulah poin penting yang saya ambil. Saya melihat penting untuk menjadi manusia merdeka.
Mereka berdua tentu saya tidak punya niat khusus untuk menggurui saya, memberi masukan ini itu, namun dalam posisi, apa yang sebenarnya sedang mereka lalukan atau gaya mereka, nilai yang mereka anut yang muncul dalam sebuah obrolan pendek kami ternyata menimbulkan banyak pertanyaan dan refleksi dalam diri saya kemudian hari. Dan kabar baiknya, bahwa itu jadi energi baru baru saya. Lalu kemudian arahnya sudah sampai pada titik ini, bisa dibaca dalam hasil wawancara saya dengan Beverly Rambu dari Victory News ini.
Ide awal LKJWS adalah sebuah integrasi perpustakaan warga, ruang produksi oleh-oleh khas Mollo, homestay yang dikelola oleh warga dan sebuah komunitas yang berfokus pada kerja-kerja kesenian, literasi dan pertanian yang melibatkan anak-anak dan orang muda. Bicara integrasi, saya bertolak dari bagaimana di awal mula saya sadar bahwa ada begitu banyak potensi atau aset yang kita punya di Mollo. Paling tidak saya belajar untuk melihat potensi atau aset yang paling kecil lingkupnya yakni apa yang ada di sekeliling rumah di desa Taiftob, Mollo, Timor Tengah Selatan.
Ada kebun kopi yang ditanam oleh bapak saya sejak tahun 90an, ada banyak sekolah disekeliling rumah saya (artinya ada banyak anak-anak dan orang muda). Keluarga saya suka memasak dan mama saya punya banyak sekali resep kuliner yang rasanya akan punya nilai lebih kalau itu dikembangkan. Ini belum bicara resep kuliner Mollo pada umumnya. Saya suka ke pasar di Mollo dan melihat begitu kayanya hasil pertanian di Mollo. Dari aktivitas saya sebagai penulis sastra, aktif di komunitas kesenian, punya pengalaman sebagai konselor pendidikan, saya membayangkan bahwa semua potensi itu berada dalam satu ruang lingkup dan punya potensi untuk saling bersinergi. Saya membayangkan di perpustakaan yang akan saya bangun, warga di kampung bisa mengakses buku bacaan, ada ruang bagi anak-anak untuk belajar bahasa Inggris, teater, tari, dll.
Ada ruang diskusi bagi orang muda. ada tempat bagi mereka untuk belajar berwirausaha, mengembangkan potensi pertanian dan tenun jadi lebih bernilai ekonomis. Wisatawan yang ingin ke Mollo punya akses juga ke homestay yang dikelola oleh warga. Menginap di rumah warga, ada interaksi, pertukaran nilai dan informasi, ada proses belajar di sana. Dan orang muda sendiri bisa belajar jadi guide, para penenun bisa lebih optimis sebab punya pasar yang jelas. Teman-teman yang mengojek atau jadi sopir diajak dan dilatih juga untuk bisa menjadi pengantar tamu yang baik. Bahwa pada akhirnya orang Mollo harus melihat kampungya dengan positif, dengan penuh optimis. Bahwa proses ini ini sebenarnya menyiapkan generasi muda sebagai pusat dari lingkaran aktivitas yang terintegrasi ini untuk kehidupan yang lebih baik di Mollo ke depannya.

Kami memulai dengan melihat kebaikan bukan masalah

Waktu itu saya juga sudah melihat bahwa kekuatan jejaring pertemanan yang terbangun selama ini bisa jadi salah satu modal pendukung bagi LKJWS. Dan benar saja, sejak awal proses pemetaan potensi desa, pembuatan materi kampanye atau fundrising, penggalangan buku, dll kami dibantu oleh kekuatan jejaring ini. Oleh mereka yang dengan bangga menyebut diri mereka relawan. Orang muda dengan visi yang menurut saya cemerlang dan sangat positif melihat proses hidup ini. Mereka membantu membuka banyak akses untuk warga sekaligus belajar dari warga. Proses ini menarik sebenarnya. Makanya dalam perencanaan awal, kami menggambarkan LKJWS sebagai co-worksing space, ruang kerja kolaborasi. Teman-teman relawan dari luar bukan saja datang membantu warga tapi mereka juga bisa belajar banyak hal dari warga. Beberapa diskusi sastra, sejarah, budaya dan kesenian pada akhirnya menjadi sangat menarik dan kaya bagi kami semua sebab itu dilihat dan dibicarakan dari berbagai sudut pandang. Kami sedang dalam proses menjadikan LKJWS sebagai pusat pengarsipan kekayaan intelektual dari dan tentang Mollo, dalam berbagai disiplin ilmu.
Dalam prosesnya, kami (ya, saya menyebut kami, sebab LKJWS kemudian menjadi ruang bersama banyak sekali orang muda Timor yang punya visi misi sama) melihat bahwa sebuah aksi kami ternyata punya imbas ke beberapa aspek dalam kehidupan sosial masyarakat Mollo pada umumnya. Apa yang terjadi di LKJWS akhirnya dibaca oleh banyak orang dari luar sana sebagai gerakan yang mampu menjawab beberapa tantangan internal orang Mollo. Semua itu tentu saja semakin memperkuat arah visi misi kami. Misalnya, tentang bagaimana konsistensi kami mendukung tumbuh kembang generasi muda desa Taiftob lewat berbagai program rutin di bidang kesenian dan literasi. Pendidikan sangat penting.
Di sisi lain kami merasa bahwa ada yang sedikit kurang dari rasa percaya diri generasi muda Mollo. Buku bacaan, kelas menulis kreatif dan berbagai kelas kesenian kami percaya bisa meningkatkan rasa percaya diri mereka. Generasi yang lebih percaya diri akan mampu melihat potensi dalam diri sekaligus potensi di luar diri mereka. Yang pede akan punya banyak cara untuk bereksplorasi, mengoptimalkan semua minat dan bakat yang ia punya. Mungkin terlihat sederhana, tapi dampaknya bisa sangat besar. Kedua, kami pikir bahwa penting juga untuk menguatkan kembali identitas generasi muda Timor sebagai, ya...orang Timor. Saya pribadi melihat ada banyak lompatan yang mau tidak mau, siap tidak siap, dialami oleh generasi muda kita. Dari ruang yang lebih kecil: tradisi mereka, bahasa ibu mereka, ke satu ruang yang lebih luas: modernitas dan segala macam kerlap-kerlip yang ditawarkan. Akar dalam ruang kecil itu yang kami rasa perlu diperkuat. Yang bisa kami lakukan di LKJWS adalah ya seperti proses integrasi semua elemen tadi dengan anak atau orang muda sebagai titik pusatnya dan lewat aktivitas berkesenian kami anggap bisa membantu menumbuhkan akar dalam ruang kecil tadi.
Pada akhirnya, saya lewat LKJWS, punya satu kerinduan yang saya sendiri baru rasakan ketika akhir ini banyak dipertemukan dengan teman-teman relawan dari TTS. Di media sosial kami seperti Instagram, ada banyak sekali dukungan dan sambutan positif. Rasanya seperti ada satu energi yang sama yang akhirnya menarik kami semua untuk berada di kutub yang sama. Barangkali itu terkait kecintaan dan cara kami melihat TTS sonde sebagai kabupaten tempat kami lahir dan bertumbuh tapi berharap bahwa ini bisa jadi rumah bersama yang lebih nyaman buat semua, apapun agamanya, sukunya, marganya, tingkat pendidikannya, pandangan politiknya.
Kadang beta sedih kalau sampai detik ini, masih ada yang bicara kasak-kusuk, “katong ditolak, diperlakukan sonde adil ya karena katong sonde dekat dengan kekuasaan, katong sonde seagama, sonde sesuku, semarga, sama pandangan politiknya.” Atau karena kita terlalu vokal mengkritisi. Sedih melihat kondisi ini sebenarnya. Primordialisme masih jadi acuan, bukan kemampuan diri, bukan prestasi. Beta melihat itu yang akhirnya membuat kita lambaaat sekali berkembang. TTS ini besar wilayahnya, penduduknya, budaya dan kearifan lokalnya, pertaniannya, banyak sekali tapi sekat lu Mollo beta Amanatun dia Amanuban, lu Protestan, beta Katolik dia Islam masih terasa. Sekat itu yang memperlambat kita untuk bergerak maju, karena satu pihak akan menahan pihak lain. Satu akan diam-diam mendorong bahkan menyikut yang lain. Diam-diam dalam rumah kita mengkompetisikan banyak hal yang sonde sehat.
Tapi syukurlah saya masih melihat ada harapan. Terus terang, saat main Instagram atau Facebook dan ketemu ada orang TTS yang keren, inspiratif, berprestasi rasanya bangga sekali dan ingin segera berteman dengannya, kepoin semua aktivitasnya dan bila perlu ada kesempatan untuk terkoneksi dalam kegiatan nyata. Misalnya, saya sudah melihat Randi Tamelan, salah satu rekan saya di LKJWS sejak lama di media sosial. Orang ini potensial. Seperti halnya saya bersyukur bisa terkoneksi dengan Sandra Frans, dkk di Forum Soe Peduli, dengan Sarlota Sipa sejarawan muda TTS, dengan Esti Tanaem, Win Pitanuki, Angel Nalle, Thomas Benmetan, Samrid Neonufa, Mardon Nenohai, Dody Kudji Lede, Un Weo, atau Gide Fanggidae dan banyaaaak lagi orang muda TTS dengan pemikiran progresif, yang mencintai akarnya sekaligus pede sebagai generasi baru yang sonde melihat TTS, kampung halaman mereka seperti katak dalam tempurung kelapa. Mungkin ini efek dari hasil merantau, sekolah di luar, ketemu banyak orang berbeda, mengadopsi banyak nilai dan perspektif baru.
Ketika semakin banyak bertemu orang TTS yang muda dan hebat ini, syukur-syukur bisa berkolaborasi dalam wadah seperti Forum SoE Peduli, Kelas Berbasis atau LKJWS, saya optimis bahwa TTS ke depan adalah TTS baru yang melihat dirinya sonde secetek dan sekecil, hanya “batau dong dong dong pung orang sa”. Kalau pemikiran itu masih jadi dominasi generasi katong pung bapa-mama maka saatnya nanti kita katong muda ini, bisa jadi pembaharu dimulai dari lingkup terkecil, dari komunitas basis masing-masing.
Ketika bicara sejarah dengan Sarlota saat festival Mnahat Feu di LKJWS beberapa waktu lalu, embrio kabupaten TTS ini sudah dibangun Belanda di dekade 1900an, lalu 1920an ibukotanya dari Kapan dipindah ke SoE, lalu setelah merdeka terus berkembang hingga saat ini. Namun kalau mau jujur dalam periode yang panjang ini, sudah ratusan tahun berjalan, mengapa kok seperti berjalan di tempat, bahkan cenderung mundur. Kalau berangkat dari perspektif aset atau potensi yang saya kemukakan di atas, harusnya sudah ada banyak energi yang mendorong untuk bergerak maju. Kekuatan aset itu ada di setiap komunitas basis kecil di masyarakat. Sayangnya, kita sudah terlalu lama dibendung dalam kotak-kotak. Lu-lu, beta-beta, bukan lagi kita.
Sungguh mati, melihat banyak kawan saya yang muda-muda dan cenderung bebas dari kotak-kotak tadi, saya optimis bahwa kampung kami bisa berkembang lebih baik. Belakangan saya ikut mengerjakan project ruang-ruang alternatif bagi warga seperti LKJWS, di beberapa desa di Amanuban dan bertemu banyak orang muda hebat sebagai penggerak desa, para pendeta yang muda dan progresif yang mau berkolaborasi tanpa dibatasi sekat-sekat sonde penting dan lagi-lagi akhirnya kita melihat diri kita dan aset di sekeliling kita sebagai potensi besar untuk kemajuan bersama, sonde untuk kemajuan diri sendiri. Saya merasa perlu menulis pemikiran ini dan berharap bisa ketemu dan berjejaring dengan lebih banyak orang hebat dari TTS.
Beta selalu bermimpi, kalau orang-orang muda ini kelak ada di posisi-posisi strategis di TTS, mereka akan jadi figur yang sonde hanya bekerja keras namun juga adil dan bebas dari kotak-kota sempit.


Kapan, 9 April 2017


Dicky Senda, lahir dan menetap di Mollo Utara. Alumni Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana. Bergiat aktif di berbagai komunitas orang muda di NTT: Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Komunitas Film Kupang, Solidaritas Giovanni Paolo, Kupang Bagarak, Forum SoE Peduli dan Lakoat.Kujawas. Menulis buku Cerah Hati (2011), Kanuku Leon (2013) dan Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi (2015). Pernah hadir dan memperkenalkan karyanya sebagai emerging writer di Makassar International Writers Festival (2013), Bienal Sastra Salihara (2015) dan Asena Literary Festival (2016). Peserta residensi seni dan lingkungan Bumi Pemuda Rahayu (2015) dan Asean-Japan Residency Program (2016). Dapat dikontak via dickysenda@gmail.com

1 komentar: